Mohon tunggu...
David Safri Anggara
David Safri Anggara Mohon Tunggu... Penulis - Pemuda Desa

Seorang Pemuda Desa yang Menjadi Pembelajar Sawji Greget Sengguh Ora Mingkuh Gunungkidul, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nasib Desa Saat Mudik Massal di Tengah Corona

30 Maret 2020   22:26 Diperbarui: 31 Maret 2020   06:47 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Layaknya perang dunia kini hampir setiap negara sedang mempersiapkan armada terbaiknya untuk bertempur. Namun bertempur disini bukanlah memerangi terorisme atau invasi besar besaran sebuah negara, yang dimaksud disini adalah memerangi sebuah makhluk berukuran 100 nanometer bernama virus corona.

Muncul di China pada akhir tahun 2019, kini virus Corona telah menginfeksi setidaknya 200 negara dengan jumlah 529.614 kasus. mengakibatkan 23.976 kematian dan 123.380 yang berhasil disembuhkan (kompas.com, 27/03/20). 

Mengingat kasusnya yang semakin parah tak aneh jika World Health Organisation memberikan rambu merah virus ini dengan mengklasifikasikannya sebagai pandemik.

Pandemik merupakan sebutan untuk penyakit yang menyebar disetiap tempat dan belum ditemukan obatnya. Di tengah pergulatan tenaga medis dan para ilmuan mencari obat mujrab untuk menghilangkat penyakit ini. Ada salah satu upaya untuk mereduksi penyebaranya yakni dengan melakukan slow down atau social distancing.

Social Distancing atau jaga jarak sudah dilakukan diberbagai negara, singkatnya kita dihimbau menjaga diri dan mencegah penularan. Langkahnya berupa tidak menghindari hadir dalam acara besar atau kerumunan kalaupun harus berada disekitar orang lain jarak yang aman adalah sekitar 2 meter, dan juga menjaga kebersihan diri dengan rajin mencuci tangan.

Di Indonesia upaya preventif dengan social distance dilakukan dengan berbagai cara seperti peniadaan shalat jumat, ibadah di gereja, bekerja dari rumah, sterilisasi kampus, dan himbauan untuk tidak mudik. Hal tersebut dipercaya mampu menurunkan kurva penyebaran virus sehingga pemerintah mampu mempersiapkan fasilitas kesehatan untuk mengatasi permasalahan ini.

Namun upaya ini belum bisa berjalan maksimal terutama bagi wilayah yang masyarakatnya merantau, menggantungkan hidupnya disektor informal seperti UMKM, kuli, buruh, sopir, tukang dan lainya. Pembatasan ruang gerak melalui social distancing setidaknya juga berdampak pada pendapatan mereka. Pada akhirnya opsi terakhir yang bisa mereka pilih adalah kembali ke desa.

Fenomena tersebut setidaknya telah terjadi di berbagai daerah misalnya Jumat lalu tercatat di (tempo.com) sebanyak 1.188 perantau sampai di Gunungkidul, di Brebes disetiap kecamatan hampir terdapat 920 pemudik yang datang, bahkan di Wonogiri dikutip dari (kumparan.com) sebanyak 14.140 perantau pulang dari Jabodetabek.  

Itulah sebabnya angka ODP (Orang Dalam Pemantauan) meningkat drastis di berbagai wilayah. Yang paling menghawatirkan tanpa disadari dari ribuan orang itu ada yang membawa virus, kemudian menyebarkannya ke berbagai penjuru. Meskipun pemerintah telah menghimbau untuk tidak mudik, tetap saja arus mudik tidak terbendung.  

Tingginya arus mudik ditengah pandemi ini, justru menimbulkan konflik baru antara warga yang yang menetap dengan pendatang. Disatu sisi masyarakat setempat tidak ingin daerahnya tertular penyakit, namun disisi juga, para pendatang tidak mungkin hidup dirantau tanpa penghasilan untuk hidup.

Jika memang larangan pulang kampung itu dilarang lantas dijadikan peraturan yang bisa dipidanakan. Jangan jangan sebelum virus corona yang menjangkit, mereka lebih dulu dibunuh oleh rasa lapar. Pemerintah memang getol getolnya mengkampanyekan untuk tidak mudik tapi belum memikirkan nasib mereka yang diperantauan.

Sejatinya tujuan dari pulang kampung ditengah pandemik ini bukanlah untuk berlibur, tapi agar bisa hidup, berkumpul dengan keluarga menekan pengeluaran ditengah kemeresotan ekonomi. Karena faktanya memang hidup di desa atau kampung pengeluaran bisa diminimalisir dengan memanfaatkan sayuran disekitar pekarangan.

Sayangnya ketika pemudik itu sampai ke desa, mereka lantas berkeliling (srawung) mengikuti aktifitas dikerumunan sepeti jagong, rewang, arisan, kerja bakti, rapat dan lain sebagainya, tanpa mereka sadari bahwa mereka menjadi carrier dari virus. Pada akhirnya virus-pun menjadi merebak menjangkit masyarakat bahkan sulit untuk dilihat riwayat penyebaranya.

Melihat hal tersebut sangat sulit bagi pemerintah untuk serta merta mencegah masyarakat untuk pulang ke desanya. Jika memang ingin menerapkan larangan mudik, pemerintah wajib untuk memberikan jaminan sosial bagi para perantau setidaknya mencukupi kebutuhan primer mereka.

Jika pemerintah tidak mampu untuk memberikan jaminan sosial bagi para perantau maka sudah sepatutnya memberikan pengawasan ketat bagi mereka yang kembali dari kota besar yang terpapar virus. Upaya preventif ini juga tidak bisa hanya dilimpahkan oleh pemerintah saja, unsur unsur masyarakat juga perlu ambil bagian dengan melakukan tindakan.

Menarik kemudian ketika melihat desa desa di Jogjakarta saling bersinergi dengan pemerintah untuk mengatasi pandemik ini. Misalnya saja di daerah Sleman kita melihat bagaimana desa desa melakukan swadaya lockdown yakni dengan memberikan pemantauan ketat bagi mereka yang keluar masuk melalui satu pintu.

Kemudian di Bantul dan Kulon Progo pemuda desa saling bersinergi dengan Pukesmas memberikan sterlisasi dengan menyemprot diinsfektan ke rumah warga, tempat umum, dan warga yang keluar masuk desa. Daerah Gunungkidul juga beberapa desa mendukung gerakan #dirumahsaja dengan mengajak masyarakat untuk menjual hasil panennya ke lingkungan sekitar.

Dalam menghadapi wabah ini sudah selayaknya kita saling bersinergi bersama sama. Berhenti untuk saling menyalahkan, berhenti untuk menyebar berita kepanikan. Kita harus yakin, percaya dan mendukung solusi ilmiah yang sudah diikhitarkan pemerintah. Holobis Kuntul Baris, bersama-sama goyong royong, Seiya Sekata.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun