"Sombong kali lah dia itu sekarang"
"Biar tau kalian ya, bisa pun dia berangkat sekolah ke Jawa, tiketnya dulu aku yang belikan"
"Kalau pun sukses dia sekarang, karena aku bantunya dulu. Tapi tidak ingat dia itu"
Saya terkejut mendengar percakapan yang penuh sindiran di sebuah kumpul-kumpul arisan. Rasa tidak enak menyebar di benak saya. Terus terang saya tidak suka mendengar obrolan macam ini. Sialnya, ada yang menimpali lagi. "Sudah kayak kacang lupa kulitnya dia itu. Tak mau lagi dia gabung dengan kita-kita ini"
Saya makin tidak nyaman mendengar percakapan semacam ini. Kena juga ke saya. Jadi teringat, saya pun dulu pernah diomongin seperti itu, oleh keluarga sendiri pula.Â
Memang, ungkapan dalam obrolan itu tidak sepenuhnya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya dapat dibenarkan.
Bagi yang mendengar dengan telinga yang naif dan tidak berpengalaman, kalimat-kalimat seperti itu mungkin tampak masuk akal. "Benar juga, kenapa ia begitu angkuh. Mengapa ia tidak menunjukkan rasa terima kasih? Sudah sukses, lantas merasa hebat."Â
Inilah gambaran nyata dari gosip yang terkadang bisa membunuh karakter individu.
Bisa jadi orang itu tidak bisa ikut kumpul karena memang sibuk bekerja. Arisan bukan prioritas karena target pekerjaan yang ketat. Meski weekend diminta lembur di tempat kerja. Dan alasan lainnya. Lalu, dia jadi bahan gosip?Â
Terlalu sering, orang hanya mengingat bantuan yang mereka berikan, dan lalu merasa bahwa bantuan tersebutlah yang membuat orang lain dapat melewati kesulitannya dan akhirnya sukses.
Anggaplah orang yang dibicarakan itu sukses atau berhasil mengubah hidupnya lebih baik. Di balik pencapaiannya itu ada perjuangan yang tidak mereka ketahui.Â
Ada tantangan besar dijalaninya. Mungkin ketika berkuliah, ada masa-masa menahan lapar ketika uang bulanan tidak cukup. Ada stres berkepanjangan saat mengerjakan tugas kuliah, skripsi, tesis atau apapun itu.Â
Ada perjuangan begadang tiap malam agar tugas dan perkuliahan selesai tepat waktu. Ada perjuangan menjaga kesehatan mental. Tidak terjerumus ke pergaulan yang salah. Tidak terjerumus pada narkoba.Â
Apakah pikiran mereka sampai kesana? Saya kok yakin tidak!
Mengklaim kesuksesan orang lain hanya karena Anda pernah memberi sedikit bantuan rasanya naif. Hal itu menyakitkan. Seakan mengabaikan kerja keras orang itu. Seolah-olah memposisikan orang hanya dapat sukses berkat dia. Hentikan!
Bagaimana kalau kita ubah sudut pandangnya. Bayangkan jika subjek percakapan ini adalah orang yang mengalami kegagalan, menghadapi masalah, menjadi pelarian atau pecandu narkoba, dan berakhir di penjara. Akankah orang-orang ini juga merasa memiliki kontribusi pada kegagalan itu?
Beranikan mereka mengubah obrolannya. Misalnya, "Kasian juga ya dia".Â
"Ah, seandainya saja aku menolongnya dulu, mungkin dia tidak akan jadi pencuri."
"Seharusnya dulu aku sering menanyakan kabarnya, memberikan nasihat padanya agar tidak salah bergaul."
"Ah, jangan-jangan gara-gara aku tidak kasih dia mau pinjam uang, dia jadi terjerumus ke dalam prostitusi?"
Saya hampir tidak pernah menemui obrolan seperti ini. Memang lebih nikmat mengklaim keberhasilan seseorang, ketimbang ikut andil atas kegagalan orang lain. Bagaimana menurut anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H