Baru-baru ini kita dikagetkan dengan ditangkapnya Rektor Universitas Negeri Lampung oleh KPK. Dugaannya terkait dengan praktik korupsi terkait penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. Ini sangat menyedihkan. Korupsi yang terjadi di lingkungan pendidikan ini benar-benar menyakitkan. Terutama bagi civitas akademika yang bekerja tulus. Mereka juga ikut menerima label tidak bisa dipercaya.
Agak mundur ke belakang, terjadi korupsi di Kementerian Sosial (Desember 2020). Korupsi jual beli jabatan di Kementerian Agama yang melibatkan Ketum PPP waktu itu (Maret 2020). Jauh mundur ke belakang, Ketua Mahkamah Konstitusi ditangkap karena korupsi (Oktober 2013). Yang lebih parah lagi Komisioner KPK, garda terdepan pemberantasan korupsi, harus mundur karena tersandung etik terkait fasilitas tiket MotoGP Mandalika (Juli 2022). Ini lembaga-lembaga yang mustinya jadi suri tauladan juga telah dirasuk perilaku korupsi. Ah, lagi-lagi Jarkoni!
Kadang saya berpikir betapa rusaknya mental bangsa ini. Bagaimana kita bisa menjadi Indonesia Emas 2045? Banyak yang sibuk bekerja keras, namun disaat bersamaan banyak pulak sibuk merongrong bahkan merusak bangsa ini dengan korupsi.
Warisan Kolonial Belanda
Kata korupsi merupakan kata yang berasal dari bahasa latin. Corruptio atau corruptus yang berarti ragam tindakan merusak atau menghancurkan. Kata corruptio juga bermakna lebih luas kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Jika merujuk ke pengertian ini, maka sangat luas makna korupsi ini. Tidak semata-mata menyangkut uang.
Korupsi yang berkembang dewasa ini tidak bisa lepas dari sejarah masa lampau. Praktik korupsi yang ada saat ini tidak tumbuh dengan tiba-tiba. Ada suatu proses yang panjang. Mental kita dirusak jauh sebelum merdeka. Kongsi dagang VOC yang akhirnya bangkrut karena praktik korupsi. Praktik-praktik suap, jual beli jabatan dilakukan oleh pegawai VOC. Pemberian peti dari bawahan kepada atasan demi menduduki suatu posisi penting. Setelah mendapatkan posisi, mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.
Menurut Day (1972), harga pembelian kopi oleh VOC kepada para petani, dipotong juga 20% untuk bupati, 20% untuk para kepala desa, 20% untuk biaya administrasi, dan 20 % untuk ongkos pengangkutan ke gudang di Batavia. Petani hanya mendapat 20% dari harga sebenarnya. Ini jelas-jelas praktik korupsi. Para pemimpin kita sudah dididik untuk korupsi. Memperkaya diri dengan mengorbankan rakyat kecil.
Cerita sejarah ini terkesan tidak asing kan? Hal ini pula yang banyak terjadi di negeri kita hingga kini.
“Korupsi adalah salah satu budaya yang ditinggalkan oleh Belanda, pada masa kolonial dan banyak pejabat VOC yang melakukan korupsi. Maaf ya, yang dari Belanda,” ujar Agus Rahardjo pada sebuah diskusi Indonesian Development Forum, 9 Agustus 2017.
Revolusi Mental sebagai upaya pencegahan yang hakiki
Bayangkan di level terkecil saja, tingkat RT saja ada praktiknya. Misalkan ada kotak sumbangan yang katanya isi saja sukarela saat kita memperoleh surat keterangan dari RT. Hal ini terjadi berjenjang. Sebagian lagi memaki. Sebagian orang bersifat permisif, memaklumi seakan itu hal wajar saja. Pembagian bantuan sosial yang tidak adil. Keluarga dari RT atau Kepala Desa diutamakan sebagai penerima padahal tidak kategori miskin. Banyak sekali praktik ketidakadilan yang sesuai definisi awal dapat digolongkan sebagai korupsi. Rusak memang.