Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lawan Budaya Korupsi Warisan Kolonial!

24 Agustus 2022   00:20 Diperbarui: 25 Agustus 2022   12:42 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (rised.or.id)

Baru-baru ini kita dikagetkan dengan ditangkapnya Rektor Universitas Negeri Lampung oleh KPK. Dugaannya terkait dengan praktik korupsi terkait penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. Ini sangat menyedihkan. Korupsi yang terjadi di lingkungan pendidikan ini benar-benar menyakitkan. Terutama bagi civitas akademika yang bekerja tulus. Mereka juga ikut menerima label tidak bisa dipercaya. 

Agak mundur ke belakang, terjadi korupsi di Kementerian Sosial (Desember 2020). Korupsi jual beli jabatan di Kementerian Agama yang melibatkan Ketum PPP waktu itu (Maret 2020). Jauh mundur ke belakang, Ketua Mahkamah Konstitusi ditangkap karena korupsi (Oktober 2013). Yang lebih parah lagi Komisioner KPK, garda terdepan pemberantasan korupsi, harus mundur karena tersandung etik terkait fasilitas tiket MotoGP Mandalika (Juli 2022). Ini lembaga-lembaga yang mustinya jadi suri tauladan juga telah dirasuk perilaku korupsi. Ah, lagi-lagi Jarkoni!

Kadang saya berpikir betapa rusaknya mental bangsa ini. Bagaimana kita bisa menjadi Indonesia Emas 2045? Banyak yang sibuk bekerja keras, namun disaat bersamaan banyak pulak sibuk merongrong bahkan merusak bangsa ini dengan korupsi. 

Warisan Kolonial Belanda

Kata korupsi merupakan kata yang berasal dari bahasa latin. Corruptio atau corruptus yang berarti ragam tindakan merusak atau menghancurkan. Kata corruptio juga bermakna lebih luas kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Jika merujuk ke pengertian ini, maka sangat luas makna korupsi ini. Tidak semata-mata menyangkut uang.

Ilustrasi koin Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). (Shuterstock via Kompas)
Ilustrasi koin Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). (Shuterstock via Kompas)

Korupsi yang berkembang dewasa ini tidak bisa lepas dari sejarah masa lampau. Praktik korupsi yang ada saat ini tidak tumbuh dengan tiba-tiba. Ada suatu proses yang panjang. Mental kita dirusak jauh sebelum merdeka. Kongsi dagang VOC yang akhirnya bangkrut karena praktik korupsi. Praktik-praktik suap, jual beli jabatan dilakukan oleh pegawai VOC. Pemberian peti dari bawahan kepada atasan demi menduduki suatu posisi penting. Setelah mendapatkan posisi, mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. 

Menurut Day (1972), harga pembelian kopi oleh VOC kepada para petani, dipotong juga 20% untuk bupati, 20% untuk para kepala desa, 20% untuk biaya administrasi, dan 20 % untuk ongkos pengangkutan ke gudang di Batavia. Petani hanya mendapat 20% dari harga sebenarnya. Ini jelas-jelas praktik korupsi. Para pemimpin kita sudah dididik untuk korupsi. Memperkaya diri dengan mengorbankan rakyat kecil. 

Cerita sejarah ini terkesan tidak asing kan? Hal ini pula yang banyak terjadi di negeri kita hingga kini.

“Korupsi adalah salah satu budaya yang ditinggalkan oleh Belanda, pada masa kolonial dan banyak pejabat VOC yang melakukan korupsi. Maaf ya, yang dari Belanda,” ujar Agus Rahardjo pada sebuah diskusi Indonesian Development Forum, 9 Agustus 2017.  

Revolusi Mental sebagai upaya pencegahan yang hakiki

Bayangkan di level terkecil saja, tingkat RT saja ada praktiknya. Misalkan ada kotak sumbangan yang katanya isi saja sukarela saat kita memperoleh surat keterangan dari RT. Hal ini terjadi berjenjang. Sebagian lagi memaki. Sebagian orang bersifat permisif, memaklumi seakan itu hal wajar saja. Pembagian bantuan sosial yang tidak adil. Keluarga dari RT atau Kepala Desa diutamakan sebagai penerima padahal tidak kategori miskin. Banyak sekali praktik ketidakadilan yang sesuai definisi awal dapat digolongkan sebagai korupsi. Rusak memang.

Entah mengapa pula ketimbang berita aksi pencegahan, aksi penangkapan koruptor malah lebih mendapat tempat di media. Ditangkap. Dadah-dadah di depan kamera. Dituntut dan diadili. Namun, ironisnya mereka hanya dihukum sekenanya. Setelah bebas masih berkoar-koar di berbagai forum. Disorot kamera. Hah. Entahlah.

Keserakahan dan miskinnya integritas para pejabat menyuburkan praktik korupsi. Katakan tidak, padahal melakukan praktik korupsi. Hambar.

Pemberantasan Korupsi yang berlangsung sejak KPK dibentuk, nampaknya belum mampu menghilangkan praktik korupsi. Pemberantasan perlu diperkuat dengan pencegahan. Pepatah bijak mengatakan lebih baik mencegah daripada mengobati. KPK nampaknya perlu diubah jadi KPPK. Komisi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Pekerjaan besar memang. Misalnya, Seleksi Mandiri Universitas perlu dievaluasi menyeluruh. Hapuskan saja jika jadi lahan korupsi di lingkungan akademik. 

Coba kita analisis secara sederhana. Demi masuk kuliah, orangtua calon mahasiswa harus mengeluarkan sejumlah uang tertentu untuk menyogok. Misalkan uang sogokan ini berasal dari hasil berdagang. Bisa jadi si pedagang menaikkan harga dagangan demi mengumpulkan uang sogokan. Atau menipu pembeli dengan ukuran atau timbangan yang sudah dikurangi. Pembeli itu adalah rakyat. 

Atau uang sogokan itu berasal dari pendapatan haram di tempat bekerja. Misalkan pejabat pemerintah. Bisa jadi uang sogokan itu berasal dari hasil korupsi juga. Misalkan didapatkan dari uang suap pengurusan izin. Pengusaha yang memperoleh izin ini memasukkan uang sogok itu sebagai biaya operasional usahanya. Lalu masuk menjadi harga produk usahanya. Lalu dijual ke masyarakat. Seandainya tidak ada uang sogok perizinan tadi, bisa jadi harga produknya bisa dikurangi. Ujung-ujungnya tetap rakyat yang menanggungnya. Kita-kita semua. Begitulah jahatnya korupsi ini. Sangat wajar jika dianggap extraordinary crime!

Berbeda dengan cagar budaya sebagai warisan masa kolonial perlu tetap dilestarikan jangan sampai hancur, budaya korupsi warisan kolonial ini justru harus dihancurkan. Darurat gerakan revolusi mental. Revolusi ya, bukan reformasi! Revolusi yang bersifat semesta dan cepat! Penghayatan nilai-nilai Pancasila perlu digencarkan kembali di bangku sekolah. Pemimpin harus benar-benar melakukan apa yang dia omongkan. Apa yang dinasehatkannya pada generasi penerus.

Masyarakat perlu dilibatkan dalam mengawasi pelayanan publik. Memberi masukan dalam upaya pencegahan. 

Semoga negeri yang baru saja berulang tahun ke 77 ini akan baik-baik saja. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun