Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah!
Brigadir J meregang nyawa bersimbah darah di Duren Tiga.
Genap 40 hari sejakSaya sebetulnya enggan membahas kasus brigadir J ini, namun entah mengapa pagi ini saya teringat cerita bagaimana Kain, anak Adam dan Hawa, gelap mata dan membunuh Habel adiknya sendiri dalam kisah dalam Kitab Kejadian.
Semakin nyata bahwa kisah ini tetap relevan sepanjang zaman. Allah memperhatikan mereka yang menderita karena komitmennya kepada kebenaran. Penderitaan mereka diketahui Allah, dan pada suatu hari Dia akan bertindak bagi mereka demi keadilan dan membinasakan semua kejahatan.
Darah Yosua 'berteriak' melalui media yang tidak diduga. Luput dari skenario Sambo yang disusun sedemikian rupa sebelum kasus itu dirilis ke media. Skenario orang yang paham hukum, keahlian di bidang reserse, yang mereka yakini akan mulus, rontok dengan cara yang tak disangka. Darah Yosua berteriak lewat adat budaya Batak.
Sambo yang bukan orang Batak, ajudannya juga tidak ada orang Batak. Polisi berpangkat dibawahnya yang orang Batak perantauan pun mungkin tidak lagi mempraktekkan adat batak.
Mereka lupa bahwa ada budaya orang Batak untuk 'mangandung' dan memberi ulos Saput. Meratapi atau menangisi anggota keluarga yang meninggal dunia. Ulos Saput diselimutkan kepada mayat sebagai bagian dari adat Batak. Ulos untuk melepas kepergian almarhum.
Alasan 'adat' awal rusaknya dusta Sambo
Saat jenazah diserahkan ke Jambi, keluarga meminta agar peti mayat dibuka. Samuel Hutabarat, ayah almarhum, beralasan ingin memastikan apa benar jenasah anaknya yang di dalam peti sebelum menandatangani berkas serah terima jenasah.
Namun ada oknum polisi yang ngotot melarang dibukanya peti jenazah. Disinlah ihwal awal terbongkarnya dusta.
Namun apa dinyana, akhirnya si oknum tidak bisa memaksakan pelarangan itu. Dia harus menyerah pada ketentuan adat. Bisa muncul masalah baru jika terus ngotot. Akhirnya peti itu dibuka dan disitulah awalnya darah Yosua berteriak.
Adat yang mana sebetulnya? Mangandung atau Ulos Saput?
"Tidak dapat dipungkiri, adat Batak yang mewajibkan setiap jenazah diberi kain ulos sebelum dikuburkan, telah memaksa peti jenazah Brigadir J yang semula dilarang dibuka oleh oknum polisi yang mengantarkan peti jenazah ke Jambi, untuk dibuka" tulis Pepih Nugraha di laman Facebooknya.
“Ini konteksnya ada soal adat. Jadi orang Batak itu, kalo kematian, itu kan harus ada penghormatan adat. Biasanya, keluarga itu petinya harus dibuka karena harus ditaruh ulos di mayat itu,” ujar Johnson di kanal YouTube Refly Harun.
"Kematian Josua Hutabarat adalah kematian yang pantas diratapi oleh semua orang Batak di mana pun. Karena dia meninggal ketika sudah dewasa dan belum menikah. Itu namanya di Batak mate ponggol, mati dalam pertumbuhan sedang bertunas mau menikah lalu meninggal," kata seorang budayawan Batak, Poltak Tambunan.
Bagi yang memahami praktek adat batak, statemen atau penjelasan dari Jhonson Panjaitan dan Pepih Nugraha sebetulnya keliru.
Berikut ini saya coba jelaskan. Ulos pada tradisi Batak banyak dipergunakan pada berbagai upacara adat. Namun tidak boleh sembarangan. Untuk konteks upacara pemakaman jenazah, maka Ulos Saput yang boleh diberikan ke jenazah.
Ulos saput merupakan jenis kain Ulos yang diselimutkan kepada seorang jenazah sebelum dikuburkan. Nama Ulos Saput menandakan bahwa ulos ini memang berfungsi sebagai selaput atau selimut. Namun sesuai adat Batak, Ulos ini hanya boleh diselimutkan kepada jenazah orang yang sudah menikah. Sudah menjadi pelaku adat. Bukan bagi jenazah yang belum menikah, biasanya jenazah langsung dikubur langsung saja karena dianggap masih anak-anak dan belum memiliki tugas adat. Biasanya ulos Saput diberikan oleh Tulang (Paman) jika yang meninggal adalah seorang laki-laki. Sedangkan, yang meninggal adalah perempuan, maka ulos biasanya diberikan oleh 'ito' atau 'iboto' atau saudara laki-laki dari yang meninggal tersebut.
Merujuk penjelasan diatas, maka sebetulnya adat yang dimaksud adalah 'Mangandung' atau meratapi jenasah Yosua. Jadi cukup jelas bahwa penjelasan Jhonson Panjaitan dan Pepih Nugraha kurang tepat. Sebab Yosua belum menjadi pelaku adat karena status belum kawin.
“Keberanian, kesediaan, budaya dan kehendak untuk kuatlah yang menjadikan Irjen Ferdy Sambo tersangka…” ujar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam konferensi pers penetapan Ferdy Sambo menjadi tersangka.
Sebagaimana ungkapan Kapolri tersebut, banyak hal yang dapat dipetik dan menjadi pelajaran dari kasus yang menggegerkan publik se-Indonesia ini. Adat yang mulai tergerus zaman ternyata mampu menjadi kunci pembuka tabir.
Damailah disana brigadir J. Saya tidak berani menghakimi-mu sebagai pihak bersalah sebagaimana tuduhan Jenderal FS.
Kebenaran akan selalu terungkap dengan cara yang tak terduga-duga. Belum pernah pekatnya malam mampu menghalangi sang mentari bersinar setiap pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H