Krisis energi yang terjadi di UK, India, China sedang menjadi topik perbincangan hangat di media.Â
Kubu pendukung energi fosil nampaknya memanfaatkan momentum ini untuk mengkambinghitamkan energi terbarukan. Menuduh energi terbarukan sebagai biang kerok masalah krisis.Â
Saya terusik dengan munculnya pendapat yang keliru. Ada yang menyalahkan energi terbarukan sebagai penyebab krisis energi. Statemen yang sarat kepentingan. Entah karena pro energi fosil atau sekedar ingin menyerang lawan politik.Â
Wallstreet Journal, media ternama di US, mengklaim terjadinya krisis listrik awal tahun lalu di Texas, California, disebabkan oleh energi terbarukan (surya dan angin). Politisi Republik, yang ber-oposisi terhadap Pemerintah, ikut mengompori dengan mengamini klaim tersebut. Merespon krisis dan kenaikan harga gas di UK baru-baru ini, Presiden Rusia, Vladimir Putin menyalahkan transisi energi yang drastis.Â
Dengan ilmu ekonomi sederhana, kita bisa memahami bahwa harga itu dibentuk oleh keseimbangan pasokan dan permintaan. Jika pasokan berkurang, harga naik. Sebaliknya pula. Sesederhana itu.Â
Coba kita telusuri lebih jauh. Listrik di UK didominasi pembangkit berbahan bakar gas. Listrik di China dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar batubara dan gas. Listrik di India juga sama.Â
Jadi jelaslah, biaya produksi listrik di sana sangat tergantung pada harga gas dan batubara. Bila pasokan di pasar terganggu, maka harganya goyang, biaya produksi terimbas. Efeknya harga jual akan naik. Ini logika yang sangat sederhana.
Saya lebih sependapat dengan pengamat lainnya. Mereka mengatakan bahwa krisis ini disebabkan lambatnya pelaksanaan transisi energi. Kegagalan pemimpin-pemimpin dunia memegang komitmen peningkatan energi terbarukan untuk menuju net-zero emissions. Terlalu sibuk beretorika.Â
Pertemuan ke pertemuan sudah dilakukan. Bayangkan, Conference of Party (COP), agenda tahunan badan penanganan perubahan iklim sudah 25 kali dihelat sejak 1995. Yang ke-26 akan diadakan di Glasgow, November nanti. Janji dan komitmen beramai-ramai diumbar di media. Sialnya, bahkan negara maju pun, tidak tampak melakukan aksi nyata untuk merealisasikan janji tersebut.
Tidak ada urusannya dengan energi terbarukan.
Jika misal menyalahkan cuaca di UK. Angin tidak bertiup maksimal memutar turbin. Ini kan sudah sifat alam. Dan bukannya tidak bisa diramalkan. Atau pemeliharaan tahunan terjadwal. Â Teknologi peramalan cuaca tersedia. Teknologi penyimpanan energi juga ada. Artinya, hal ini bisa diperkirakan dan diantisipasi.
Lagi-lagi ini hanya blaming energi terbarukan saja. Bisa jadi dihembuskan oleh  pihak yang tidak ingin bisnis energi fosilnya terusik dengan gerakan net zero emissions.
Sama ketika film propaganda "Planet of the Humans" yang mengkritik energi terbarukan. Penggiringan opini bahwa energi terbarukan itu 'buruk' tampak jelas disana. Saking dongkolnya, film ini saya bongkar kesesatannya di tulisan terpisah.Â
Baca juga:Â Perang Opini Kubu "Renewables" dan "Fossil": Film "Sexy Killers" Versus "Planet of The Humans"
Pro fosil dan pro energi terbarukan ini bak kampret vs cebong. Kubu kampret getol mencari kejelekan kubu cebong. Yang bagus pun diplintir agar terlihat jelek. Haha
Negara yang didominasi sumber energi terbarukan, tidak mengalami krisis.
Kembali ke hal pokok pembicaraan. Renewable energy tidak bisa disalahkan sebagai biang kerok krisis dan kenaikan harga energi.Â
Mau buktinya? Saya menganalisis tarif listrik di Tasmania, Australia. Tarif listrik di New Zealand. Tarif listrik di Denmark. Tarif listrik di Norwegia. Â Tarifnya tidak fluktuaitif. Terlihat ajeg. Tidak terpengaruh oleh kenaikan harga batubara, harga gas, atau jarga minyak dunia.
Mengapa demikian? Jawabannya sederhana. Negara tersebut menikmati listrik yang dominan dari energi terbarukan. Energi air, energi angin, energi surya, panas bumi dominan disana.Â
Air mengalir setiap hari. Matahari bersinar. Panas bumi abadi keberadaanya. Tidak perlu kuatir pasokan hari esok, minggu depan, bulan depan, dan seterusnya. Sang Pencipta sudah menyediakan.Â
Saat negara lain pusing dengan kenaikan harga batubara, gas, minyak, mereka santai saja. Seakan tidak terjadi apa-apa diluar sana. Istilah gaulnya "gak ngefek bro".
Lalu apa yang salah?
Menurut saya pribadi, krisis energi yang menimpa beberapa negara tersebut lebih diakibatkan terganggu nya pasokan. Kegagalan menyeimbangkan pasokan dan permintaan. Ini kemungkinan disebabkan tidak ada komunikasi antara produsen batubara atau gas dengan pembelinya. Produsen tidak bisa mengantisipasi lonjakan permintaan pasar. Bisa jadi karena geliat pemulihan ekonomi di UK, India, China tidak diantisipasi dalam merencanakan target produksi.Â
Jadi jelas tidak ada urusan dengan energi terbarukan. Malahan energi terbarukan mendorong kestabilan harga energi.Â
Jika pun 'maksa' agar terkait dengan 'renewable energy', kesalahan terbesar adalah mengapa tidak dibangun lebih cepat dalam kapasitas memadai. Teknologi maupun harga sudah mampu bersaing dengan energi fosil. Â Â
Semoga ulasan ini bermanfaat. *DFSÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H