PLTS Kupang 5 MW yang diresmikan Presiden Jokowi pada akhir 2015, diperhitungkan akan menghemat BBM sebesar 225.000 liter atau setara penghematan biaya Rp1,9 miliar per bulan.
Tidak hanya sekedar substitusi, malahan untuk daerah terpencil, PLTS atau pembangkit listrik mikrohidro menjadi satu-satunya sumber energi.Â
Atau contoh lain adalah pencampuran B-20, B-30 pada BBM yang digunakan oleh PLTD yang dioperasikan PLN. Ini jelas-jelas mensubstitusi sebagian energi fosil kan?
Solar PV dan Angin butuh back-up pembangkit berbahan bakar fosil. Untuk saat ini, rasanya pernyataan ini tidak sepenuhnya salah.
Lalu untuk sistem-sistem kecil 'off-grid', lokasi terisolasi, pulau-pulau kecil, maka PLTS solar PV) atau PLT Bayu (wind) sering dipasangkan dengan genset, mengingat untuk kemudahan operasi, dan juga harga baterai skala kecil relatif mahal.
Namun ke depannya, seiring berkembangnya teknologi dan harga yang terus turun, penggunaan back-up genset ini akan beralih pada penggunaan baterai penyimpan.
Atau jika sudah tersambung dengan sistem besar, tidak memerlukan back-up atau baterai sama sekali.
Kemudian, apakah biomass/Biofuel merusak lingkungan? Ini pun tidak sepenuhnya benar dalam kacamata Indonesia.
PLT Biomass 6 MW di Bangka misalnya, memanfaatkan sisa janjan kosong (cangkang sawit). Atau pembangkit biogas yang dengan pemanfaatan gas methan dari limbah cair sawit. Ini kan tidak merusak hutan, malah meningkatkan nilai tambah bagi perusahaan pengolahan kelapa sawit.Â
Tentunya kita tidak perlu menelan mentah-mentah apa yang disajikan oleh Planet of the Humans tersebut. Ambil pesan-pesan yang baiknya saja, abaikan yang tidaknya. Hehe