Besarnya potensi energi surya di Indonesia tidak perlu dipertanyakan. Saya meyakini Indonesia yang dilalui garis Kathulistiwa, setiap hari menikmati sinar matahari, potensi nya luar biasa besar. Saya sudah mengulas hal ini dalam tulisan '100% listrik surya' sebelumnya.
Ide gila! Buang ke laut!
Meski demikian, pun saya yakin banyak keraguan yang muncul di benak pembaca. Sudahlah, itu kan cuma teori, gak mungkin lah! Kebutuhan lahan kan luas, bagaimana menyediakannya? Daripada tanah dipakai untuk PLTS, mendingan bikin perumahan, kata pengusaha property. Bisa untung banyak. Lain lagi pengusaha kebun sawit, sudahlah mendingan tanah hektaran ditanami sawit, jelas hasilnya. Ide gila, buang aja ke laut!
Nah, seringkali cibiran 'buang' ke laut menjadi cemooh yang paling kasar. Meskipun kasar, ternyata ada benarnya.
Kenapa tidak di'buang' aja ke laut itu pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), yang bule sebut 'solar PV'. Toh laut kita luas, banyak PLTS yang bisa dibuang kesana. Indonesia negara maritim dengan luas lautan mencapai 70% dari total wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ayo kita lihat infografis yang pernah diterbitkan oleh katadata. Total luas negara maritim, Indonesia, yang pulaunya berjumlah sekitar 17.500, luasan daratan dan perairan mencapai 8,3 juta kilometer persegi.
Luas total perairan Indonesia, termasuk Zona Ekonomi Ekslusif, mencapai 6,4 juta km2. Ini luasan yang setara 50 kalinya pulau Jawa. Lalu apa kaitannya dengan buang 'solar PV' ke laut? Ya kita buang aja panel surya ke lautan itu. Ibaratnya gelar tikar, hamparkan aja sel surya itu di permukaan laut. Dibangun dengan instalasi terapung! Tarik kabel listriknya dari laut ke daratan. Nyetrum lah listrik kita.
Tidak sembarangan tentunya untuk membangun PLTS ini di permukaan laut. Perlu pertimbangan keamanan. Ada yang bilang, kan bisa jadi nanti disabotase, karena jauh dari pantauan. Maka mesti ditempatkan pada laut teritorial yang aman. Laut teritorial ini sifatnya tidak boleh diutak-atik negara asing. Kawasan teritorial ini berjarak 12 kilometer dari garis pantai. Kawasan yang pastinya dijaga oleh TNI Angkatan. Jika ada yang melintas tanpa izin, bisa ditembak oleh si 'hantu laut'. Kecil sekali kemungkinan akan ada sabotase disana. Kalau macam-macam, tenggelamkan ! Hehe
Seberapa luas lahan yang dibutuhkan?
Jika mengacu pada instalasi milik Singapura, PLTS terapung 60 MWp, membutuhkan setara 45 luas lapangan bola. Luas lapangan bola standar sekitar 7.140 m2. Artinya kebutuhan luas setiap 1 MW PLTS terapung ini setara luas perairan sekitar 0,54 hektar. Jika misalkan dibangun 100 MW, maka perlu dihamparkan pada luasan 54 hektar perairan laut. Pada ulasan sebelumnya 'Indonesia Bisa Hasilkan 100% Listrik dari Tenaga Surya pada Tahun 2050', untuk sistem kelistrikan Indonesia pada tahun 2050 100% dipasok oleh PLTS, maka dibutuhkan sekitar 1.500 Gigawatt PLTS. Ini untuk menjamin suplai listrik sebanyak 2.600 Terrawatthour per tahun.
Apabila semua 'dibuang ke laut', dengan asumsi 0,54 hektar per MW, maka dibutuhkan sekitar 8 juta hektar. Atau setara 8.000 km2. Seberapa sih ini dibandingkan dengan luas lautan Indonesia? 8 ribu km2 berbanding 6,4 juta km2. Kira-kira sekitar 0,1% saja. Kecil lah ya!
Pertimbangan mengapa 'buang ke laut' ini masuk akal juga!
Tentu perlu dilihat juga seberapa memungkinkan untuk dipasang di perairan laut Indonesia. Ada beberapa hal yang cukup menguatkan argumen buang ke laut ini, antara lain:
1. Perairan laut Indonesia cenderung ombaknya rendah. Tidak banyak bergolak 'relatif aman'. Berdasarkan data BMKG maupun riset dari peneliti kelautan, memberi kesimpulan bahwa perairan Indonesia cenderung aman. Tidak seperti Jepang, yang secara rutin didatangi badai topan. Lautnya tidak aman. Angin di laut kita tidak sedahsyat di laut Jepang sana. Itu pula berkorelasi dengan kecilnya potensi energi angin di Indonesia. Sangat sedikit tempat-tempat yang anginnya kuat memutar turbin angin.
Kebanyakan laut Indonesia itu, tinggi ombak rerata kurang dari 2 meter. Memang ada yang musim tertentu mengalami gelombang atau ombak tinggi. Namun pada musim tertentu,betul bahwa ada beberapa perairan yang berbahaya. Ombaknya bisa mencapai lebih dari 2 meter hingga 7 meter.
Untuk wilayah zona perairan yang berhubungan dengan Laut Cina Selatan (Selat Karimata, Laut Natuna) dan Samudera Pasifik (Laut Sulawesi, Laut Maluku dan perairan utara Papua), Laut Jawa, Laut Flores dan selat Makassar puncak tertinggi terjadi pada periode monsun Asia. Sedangkan Laut Banda, Laut Arafuru dan perairan yang berada di Samudera Hindia (Laut Timor, Laut Sawu) puncak tertinggi terjadi pada periode monsun Australia. Demikian tulis Roni dkk dalam jurnalnya. Berarti tidak aman dong di laut? Ya, tidak aman pada laut-laut yang disebut tadi.
Tetapi laut lainnya lebih luas dari zona-zona bahaya ini. Masih banyak lokasi laut yang bisa dipilih. Untuk gambaran kita lihat prediksi BMKG untuk 14 Mei. Untuk main aman, pilihannya pada zona laut berwarna biru dan hijau saja, tinggi gelombangnya maksimal 1,25 m. Sistem PLTS terapung terkini mampu menahan hingga 2 m. Dan kedepannya bisa jadi teknologi nya berkembang pesat, sehingga mampu menahan hingga 5 meter, misalnya.
2. Bisa memilih inland sea atau sheltered sea sebagai lokasi. Perairan laut terlindung bisa menjadi pilihan lokasi terbaik, misalnya dengan melihat peta dari BMKG diatas, bisa dipilih perairan Selat Bangka, perairan Teluk Betung, perairan antara Pulau Sumatera dan Kepulauan Riau, perairan di Teluk Tomini Sulawesi .
3. Aktivitas menangkap ikan. Tentu daerah-daerah yang banyak aktivitas ikannya bisa dihindari, jangan dipilih sebagai lokasi. Kehadiran PTLS terapung tidak boleh mengganggu aktivitas perikanan. Berbahaya juga kalau kapal nelayan menabrak instalasinya. Bahaya bagi nelayan dan bahaya bagi PLTS terapung.
4. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan jalur pelayaran. PLTS terapung juga mesti hati-hati. Tidak boleh bersinggungan dengan jalur ALKI yang digunakan oleh pelayaran internasional. ALKI I, ALKI II, ALKI III harus jadi pertimbangan. Juga tidak boleh berada pada jalur pelayaran domestik. Tidak lucu juga kalau kapal-kapal internasional atau kapal milik PELNI misalnya, menabrak PLTS ini.
5. Laut yang dilindungi sebagai lahan konservasi. Tentulah lahan konservasi laut tidak dimasukkan sebagai lahan potensial. Zona laut ini tidak boleh dipasangi PLTS terapung, agar tidak menabrak aturan. Namun tentunya bukan mustahil ada pengecualian dalam aturan. Bisa jadi nanti diperbolehkan. Misalnya pembangkit listrik panas bumi diberikan dispensasi lokasi meski berada dalam kawasan hutan lindung.
Anggaplah dengan mempertimbangkan semua hal tersebut diatas ini, tidak boleh setengah dari laut dicawe-cawe untuk bangun PLTS. Laut yang bisa dipakai untuk 'buang' PLTS ini tersisa 50 %. Sesuai perhitungan, butuh permukaan laut hanya 0,1% dari total luas lautan kita. Artinya, cukup kan laut kita?
Terimakasih atas sindiran buang kelaut! Ternyata ide kamu boleh juga! Untuk membangun PLTS tidak perlu bersaing ketat dengan kebutuhan lahan pertanian, perkebunan, apalagi perumahan. Paradigma lahan untuk potensi energi surya jadi bertambah nih. Sebagai negara maritim, saat nya tidak 'memunggungi' laut itu. Kita tatap lautan kita, seperti gambar ilustrasi diatas. Boleh juga kita maritimkan itu PLTS! Hehe
Tautan referensi: 1, 2, 3, 4, 5, 6
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H