Kegagalan Inklusi Budaya dalam Debat dan Acara Publik
Pilkada merupakan wadah di mana calon pemimpin memperkenalkan visi, misi, dan gagasannya untuk membawa Jakarta ke arah yang lebih baik.
Namun, apa jadinya jika dalam proses tersebut, budaya asli yang menjadi bagian dari denyut nadi masyarakat Jakarta tidak dilibatkan sama sekali? Debat calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta 2024, misalnya, tampak steril dari unsur-unsur lokal yang seharusnya mencerminkan wajah Jakarta.
Sebagai pusat kebudayaan Betawi, Jakarta semestinya memanfaatkan acara-acara publik ini untuk menonjolkan budaya lokal.
Para panelis asing atau duta besar yang diundang untuk turut serta dalam debat dan memberi masukan tentang bagaimana Jakarta bisa menjadi kota global semestinya diperkenalkan kepada kekayaan budaya Betawi. Sayangnya, tak satu pun dari ini diwujudkan oleh KPUD Jakarta.
Penggunaan Anggaran: Ke Mana Ratusan Miliar Rupiah Pergi?
Pilkada Jakarta 2024 bukan hanya melibatkan perdebatan visi-misi, tetapi juga alokasi anggaran yang sangat besar.
Dengan dana ratusan miliar rupiah, sangat memprihatinkan melihat bahwa tidak ada alokasi yang tampak untuk melibatkan budaya Betawi dalam acara-acara Pilkada. Padahal, Jakarta sebagai kota multikultural dan pusat budaya seharusnya memperlihatkan wajah lokalnya di kancah politik.
Bagaimana mungkin dengan anggaran sebesar itu, tidak ada satupun elemen yang mencerminkan kearifan lokal? Tidak ada jawara Betawi yang dilibatkan dalam menjaga keamanan, tidak ada panggung seni maen pukulan Betawi, ondel-ondel, kesenian palang pintu, tarian selamat datang atau lagu hymne yang menggugah semangat demokrasi berbasis kearifan lokalnya.
Semua ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana anggaran tersebut digunakan?