Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2024 seharusnya menjadi momentum penting untuk menunjukkan bahwa Jakarta sudah mendapatkan status kekhususannya, tetapi juga sebagai simbol keberagaman dan keadilan budaya yang sejak lama dari awal perjuangan bangsa kita melwawan penjajah asing.
Namun, dalam pelaksanaannya, KPUD Jakarta justru menciptakan ironi besar.
Dengan anggaran ratusan miliar dan dukungan undang-undang yang seharusnya memprioritaskan kearifan lokal, budaya Betawi -- sebagai inti dari identitas Jakarta -- justru diabaikan secara sistematis.
Pilkada yang semestinya menjadi pesta demokrasi inklusif ini tampak kehilangan esensi lokalnya, menghilangkan representasi suku Betawi dalam berbagai elemen penting, mulai dari iklan, acara debat, hingga simbol-simbol budaya yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari Jakarta.
Sebagai suku asli yang telah memberikan tanah dan budayanya demi kemajuan ibu kota, ketiadaan Betawi dalam penyelenggaraan Pilkada 2024 menjadi tanda tanya besar yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.
UU No. 2 Tahun 2024: Simbol Kekhususan Jakarta yang Diabaikan
Salah satu elemen terpenting dalam Pilkada Jakarta kali ini adalah hadirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Kekhususan Jakarta.
UU ini menggarisbawahi pentingnya menjaga dan melestarikan budaya Betawi sebagai bagian dari identitas Jakarta yang khas. Bahkan, UU ini mengamanatkan pembentukan lembaga adat dan dana abadi untuk melestarikan seni dan budaya Betawi.
Namun, ironisnya, dalam perhelatan besar Pilkada yang diharapkan mampu mencerminkan semangat kekhususan Jakarta, KPUD justru gagal menghormati budaya yang menjadi esensi dari undang-undang ini.
Dalam berbagai acara resmi Pilkada, tidak ada satupun unsur budaya Betawi yang ditampilkan secara layak.
Dari cara berbusana pembawa acara yang jauh dari kesan Betawi, hingga ketiadaan elemen-elemen budaya seperti pantun pembuka, palang pintu, atau tarian-tarian khas Betawi. Seolah-olah KPUD Jakarta melupakan bahwa Jakarta memiliki warisan budaya yang patut dijunjung tinggi dan diperkenalkan kepada dunia, terutama di momen penting seperti Pilkada.
Kegagalan Inklusi Budaya dalam Debat dan Acara Publik
Pilkada merupakan wadah di mana calon pemimpin memperkenalkan visi, misi, dan gagasannya untuk membawa Jakarta ke arah yang lebih baik.
Namun, apa jadinya jika dalam proses tersebut, budaya asli yang menjadi bagian dari denyut nadi masyarakat Jakarta tidak dilibatkan sama sekali? Debat calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta 2024, misalnya, tampak steril dari unsur-unsur lokal yang seharusnya mencerminkan wajah Jakarta.
Sebagai pusat kebudayaan Betawi, Jakarta semestinya memanfaatkan acara-acara publik ini untuk menonjolkan budaya lokal.
Para panelis asing atau duta besar yang diundang untuk turut serta dalam debat dan memberi masukan tentang bagaimana Jakarta bisa menjadi kota global semestinya diperkenalkan kepada kekayaan budaya Betawi. Sayangnya, tak satu pun dari ini diwujudkan oleh KPUD Jakarta.
Penggunaan Anggaran: Ke Mana Ratusan Miliar Rupiah Pergi?
Pilkada Jakarta 2024 bukan hanya melibatkan perdebatan visi-misi, tetapi juga alokasi anggaran yang sangat besar.
Dengan dana ratusan miliar rupiah, sangat memprihatinkan melihat bahwa tidak ada alokasi yang tampak untuk melibatkan budaya Betawi dalam acara-acara Pilkada. Padahal, Jakarta sebagai kota multikultural dan pusat budaya seharusnya memperlihatkan wajah lokalnya di kancah politik.
Bagaimana mungkin dengan anggaran sebesar itu, tidak ada satupun elemen yang mencerminkan kearifan lokal? Tidak ada jawara Betawi yang dilibatkan dalam menjaga keamanan, tidak ada panggung seni maen pukulan Betawi, ondel-ondel, kesenian palang pintu, tarian selamat datang atau lagu hymne yang menggugah semangat demokrasi berbasis kearifan lokalnya.
Semua ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana anggaran tersebut digunakan?
Apakah dana ini benar-benar dialokasikan dengan bijak, atau ada potensi penyalahgunaan yang perlu diusut oleh lembaga penegak hukum?
Sudah waktunya bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga pengawas lainnya untuk mengecek dan meninjau Laporan Pertanggungjawaban KPUD Jakarta.
Jika benar anggaran yang begitu besar tidak digunakan untuk hal-hal yang mendukung kearifan lokal, maka ini adalah bentuk pemborosan yang merugikan masyarakat Jakarta secara keseluruhan terutama kami masyarakat inti Jakarta.
Teknologi Blockchain: Solusi untuk Transparansi Pemilu yang Terabaikan
Selain masalah representasi budaya, Pilkada 2024 juga menghadapi tantangan transparansi.
Di era digital seperti sekarang, teknologi berbasis blockchain dapat menjadi solusi ampuh untuk menjamin proses pemilu yang jujur, terbuka, dan aman dari kecurangan.
Blockchain menawarkan sistem yang transparan dan tak bisa dimanipulasi, yang sangat relevan untuk memastikan bahwa setiap tahapan Pilkada dijalankan dengan integritas tinggi.
Namun, KPUD Jakarta sepertinya belum memanfaatkan teknologi ini secara maksimal. Padahal, di zaman di mana masyarakat semakin melek teknologi dengan akses yang mudah melalui Google, YouTube, TikTok, hingga ChatGPT, transparansi melalui blockchain bisa menjadi langkah maju untuk memperbaiki sistem demokrasi kita.
Jakarta sebagai kota global harusnya menjadi pionir dalam penggunaan teknologi canggih untuk memastikan keadilan dan transparansi dalam setiap proses politik.
Kesimpulan: KPUD Jakarta Harus Berbenah, Saatnya Kearifan Lokal Dihormati
Pilkada Jakarta 2024 adalah momentum yang seharusnya membawa Jakarta ke arah yang lebih inklusif dan transparan. Namun, ketidakmampuan KPUD Jakarta untuk menghadirkan budaya Betawi dalam perhelatan ini sangat mengecewakan dan merugikan masyarakat lokal. Dengan anggaran besar yang tidak jelas penggunaannya, absennya elemen-elemen budaya Betawi, dan ketidaktransparanan dalam proses pemilu, KPUD Jakarta harus segera berbenah.
Budaya Betawi, yang telah memberikan kontribusi besar bagi sejarah dan pembangunan Jakarta, harus diakui dan dihormati dalam setiap aspek kehidupan politik dan sosial di ibu kota.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Kekhususan Jakarta tidak boleh hanya menjadi simbol kosong tanpa implementasi nyata. Penyelenggara Pilkada, khususnya KPUD, harus memastikan bahwa kearifan lokal ini diakomodasi dengan baik dalam setiap tahap pelaksanaan Pilkada.
Saatnya bagi KPUD Jakarta untuk bertanggung jawab.
Penyelidikan oleh KPK dan lembaga pengawas lain sangat penting untuk memastikan bahwa anggaran Pilkada digunakan dengan bijak dan tepat sasaran.
Lebih dari itu, penggunaan teknologi blockchain bisa menjadi solusi untuk memastikan bahwa proses pemilu di Jakarta benar-benar transparan, aman, dan adil bagi semua pihak.
Jakarta bukan hanya akan menjadi kota global, tetapi juga kota dengan warisan budaya yang kaya yang patut di jadikan modal untuk bertransformasi menjadi kota global yang di segani.
Saatnya kearifan lokal, khususnya budaya Betawi, mendapatkan tempat yang layak dalam pesta demokrasi Jakarta.
Penulis, sebagai anak Betawi tulen merasa punya kewajiban yang besar untuk menyampaikan isi hati ini.
Dengan penuh kecemasan dari hati yang paling dalam, penulis menulis artikel ini karena merasa harus, kudu, wajib menyampaikan teguran yang keras!
Ibarat pantun begini,
"Ajak Mamat maen layang-layang,
Maen layang-layang ke Kota Tua,Tak kenal maka tak sayang,
Tak sayang maka tak cinta.
Kesempurnaan hanya milik Allah
Klo ada salah itu milik aye,
Wassalammulaikum WBR.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H