Mohon tunggu...
David Darmawan
David Darmawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Direktur utama PT Betawi Global Korporatindo, pendiri SOCENTIX dan mantan dirut PT Redland Asia Capital Tbk. (IDX: PLAS) Ketua Umum ORMAS Betawi Bangkit.

ٱلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ ʾas-salāmu ʿalaykum Sebagai seorang anak Betawi tulen, saya yakin akan adanya persatuan dan kesatuan di Betawi melalui pemerintahan saat ini. "PER IMPERIUM VENIT PAX" — Melalui pemerintahan datanglah kedamaian. Berdasarkan UU NO 2 2024 DKJ (Daerah Khusus Jakarta), saya merasa bangga dengan warisan budaya saya. Dikenal di komunitas sebagai jawara yang berani, saya memiliki banyak kenalan di berbagai tempat berkat kehangatan dan keramahan khas Betawi. Saya memiliki hobi unik yaitu mengenakan baju pangsi, pakaian tradisional Betawi yang menunjukkan kecintaan saya terhadap tradisi. Lebih dari sekadar menjaga warisan, saya bersemangat membagikan pengetahuan dan wawasan untuk kemajuan peradaban Betawi, khususnya di bidang teknologi, lingkungan hidup, dan rekonstruksi keuangan berbasis aset (Asset Based Financial Engineering). Melalui blog saya di Kompasiana, saya berbagi cerita, pemikiran, dan inisiatif yang mendukung pelestarian dan inovasi dalam kebudayaan Betawi, bertujuan menginspirasi generasi saat ini dan mendatang (In het verleden ligt het heden, in het nu wat worden zal De bovenstaande woorden (van Willem Bilderdijk) Bhs., Belanda yang artinya : hari ini adalah produk masa lalu dan bahan baku untuk hari esok!. Izinkan saya menutup dengan sedikit pantun! di atas daratan ade gunung, di atas gunung ade langit! buat kite semua anak betawi klo mao maju jangan pade bingung! karne SK kite ude turun dari langit! Klo ada salah itu milik aye! kesempurnaan hanya milik ALLAH! ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ Wassalammulaikum WBR.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kaesang, INDODAX dan PILKADA Jakarta 2024: di mana BETAWI dalam Pusaran Uang dan Kuasa?

13 September 2024   23:29 Diperbarui: 13 September 2024   23:29 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis dengan sengaja memilih judul yang mencerminkan kejadian-kejadian serta topik-topik terkini di pekan ini, yang memancing rasa ingin tahu dan mengajak kita berpikir lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi di sekitar kita. 

Tanpa ada niat untuk memprovokasi atau meluapkan emosi, tulisan ini adalah ungkapan hati seorang kuli kehidupan yang merenungi gemerlapnya apa yang disebut sebagai pesta demokrasi. 

Seperti halnya ikan kecil yang berusaha menyeberangi lautan luas, penulis menyerahkan segala ucapan dan pemikirannya dengan penuh kerendahan hati kepada Ilahi Robbi.

Jakarta, ibukota yang senantiasa memikat para penguasa, kembali menggelar pesta politik yang mendebarkan: Pilkada Jakarta 2024

Dalam kontestasi ini, berbagai nama besar melambung, termasuk sempat Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Joko Widodo, yang kini mulai menapaki jalur politik. 

Namun, di tengah hingar-bingar kampanye dan persaingan sengit, satu pertanyaan fundamental muncul: Di manakah Betawi, pemilik asli tanah ini, dalam narasi besar politik yang melibatkan kepentingan modal, teknologi kripto seperti INDODAX, dan para elite politik?

Pilkada Jakarta tidak hanya soal pertarungan politik, tapi juga pertarungan ekonomi dan kebudayaan

SUMBER: David Darmawan Media asset (c) 2024.
SUMBER: David Darmawan Media asset (c) 2024.

Kaesang, sebagai figur baru yang sedang menyusun strategi politiknya, juga terhubung dengan lanskap ekonomi digital yang terus berkembang, termasuk bursa aset kripto seperti INDODAX. Keterkaitan antara ekonomi, teknologi, dan politik ini menciptakan narasi baru dalam pemilihan kepala daerah, yang menyulut berbagai pertanyaan mengenai peran masyarakat Betawi dan keberlangsungan adat serta budaya mereka.

Kaesang dan Aset Kripto: Menjembatani Politik dan Ekonomi Digital

Kaesang, yang awalnya dikenal sebagai pengusaha kuliner dan konten kreator, kini terjun ke dunia politik dengan segala sorot mata yang tertuju kepadanya. Berbagai pengamat mulai mempertanyakan seberapa besar pengaruh jaringan bisnisnya, yang salah satunya terkait dengan pasar aset digital seperti kripto, terhadap langkah politiknya. Di sisi lain, INDODAX, sebagai bursa aset kripto terbesar di Indonesia, menjadi simbol dari transformasi ekonomi yang sedang berlangsung---memperkenalkan teknologi blockchain dan desentralisasi ke dalam sistem keuangan Indonesia.

Namun, perkembangan ekonomi digital ini tidak sepenuhnya bebas dari risiko. 

Bursa kripto global telah beberapa kali disusupi peretas, yang berujung pada kerugian finansial yang sangat besar bagi para pengguna. Apakah INDODAX dan aset kripto secara umum akan berperan dalam membentuk ekonomi Jakarta ke depan, atau justru menciptakan celah baru bagi permasalahan gratifikasi dan korupsi politik? Ketika figur-figur politik seperti Kaesang mulai mengintegrasikan teknologi ini ke dalam narasi politik mereka, ada kekhawatiran bahwa ekonomi digital ini dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Di Balik Cahaya Bursa Kripto: Celah, Bahaya, dan Kerentanan yang Mengintai Dunia Digital"

Seperti pepatah lama mengatakan, "Air tenang menghanyutkan", bursa kripto tampak tenang di permukaan, namun di bawahnya terdapat arus deras kerentanan yang siap menghanyutkan siapa saja yang lengah. Indodax, sebagai salah satu bursa kripto terbesar di Indonesia, menonjol dalam gemerlap revolusi digital ini. Tetapi di balik pertumbuhan dan kegemilangan itu, tak bisa dipungkiri bahwa ancaman nyata juga terus mengintai.

Dunia kripto, yang dibangun di atas dasar teknologi blockchain dan desentralisasi, dikenal karena kekuatannya dalam keamanan data. 

Namun, tidak ada sistem yang benar-benar kebal. Setiap bursa, termasuk Indodax, beroperasi di tengah lanskap yang penuh risiko. Berbagai celah keamanan selalu ada, dan bagi mereka yang paham bagaimana mengeksploitasinya, bursa kripto bisa menjadi tambang emas yang siap digali. Sejarah telah mencatat sejumlah bursa besar yang mengalami peretasan, yang menimbulkan kerugian ratusan juta hingga miliaran dolar. Mari kita telaah lebih dalam kerentanan-kerentanan ini dan apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya.

Celah dan Kerentanan Bursa Kripto

Bursa kripto seperti Indodax menyimpan sejumlah besar aset digital milik para penggunanya, yang menjadikannya target utama para peretas. Salah satu celah terbesar dalam sistem ini terletak pada pengelolaan dompet digital (wallet), terutama yang bersifat hot wallet---dompet yang selalu terhubung dengan internet. Meskipun ini memudahkan transaksi cepat, hot wallet sering kali menjadi sasaran peretasan karena tingkat keterhubungannya yang tinggi.

Kasus-kasus besar telah terjadi di berbagai belahan dunia. Pada tahun 2014, Mt. Gox, salah satu bursa kripto terbesar pada masanya, mengalami peretasan yang mencuri sekitar 850.000 Bitcoin, bernilai lebih dari 450 juta dolar saat itu. Lalu pada tahun 2020, bursa KuCoin juga diretas dan kehilangan sekitar 281 juta dolar. Bahkan bursa yang terkenal ketat seperti Binance pun tak luput dari serangan, kehilangan sekitar 40 juta dolar pada tahun 2019. Semua ini menunjukkan bahwa tidak ada bursa yang benar-benar aman.

Celah-celah keamanan lainnya juga bisa ditemukan pada API (Application Programming Interface) yang digunakan untuk menghubungkan platform perdagangan dengan sistem eksternal. Jika pengamanan API tidak diperketat, peretas dapat mengeksploitasinya untuk mendapatkan akses ke akun-akun pengguna atau bahkan mengendalikan sistem perdagangan.

Selain itu, rekayasa sosial adalah metode lain yang sering digunakan oleh penyerang untuk mendapatkan akses ke informasi sensitif. Dalam banyak kasus, celah bukan berasal dari teknologi itu sendiri, melainkan dari kelalaian manusia---phishing, email palsu, atau serangan manipulasi psikologis lainnya yang mengeksploitasi karyawan atau pengguna platform.

SUMBER: David Darmawan Media aseet (c) 2024.
SUMBER: David Darmawan Media aseet (c) 2024.

Pilkada dan Ancaman Gratifikasi: Di Manakah Betawi?

Dalam Pilkada 2024, isu gratifikasi dan politik uang tidak bisa dipisahkan. Sejak era reformasi, korupsi telah menjadi salah satu masalah utama dalam sistem politik Indonesia. Pilkada Jakarta kerap diwarnai oleh manuver-manuver licik di balik layar---baik oleh pengusaha maupun elite politik---yang berusaha mengontrol hasil pemilihan dengan memanfaatkan kekuatan uang. Dalam konteks ini, aset kripto pun mulai muncul sebagai elemen yang mungkin dapat digunakan untuk menghindari sistem keuangan tradisional, dan berpotensi untuk memperumit pengawasan terhadap gratifikasi.

Kaesang, dengan keterkaitannya pada dunia bisnis dan teknologi, dipandang oleh sebagian orang sebagai simbol generasi baru politik yang lebih progresif dan berpikiran terbuka terhadap ekonomi digital. Namun, tantangan yang muncul adalah bagaimana memastikan bahwa politik uang, baik dalam bentuk tradisional maupun digital, tidak mengorbankan demokrasi yang bersih. Di tengah semua itu, kita harus bertanya: di mana posisi masyarakat Betawi dalam pertarungan kekuatan ini?

Betawi, sebagai kelompok etnis asli Jakarta, sering kali dipinggirkan dalam percaturan politik dan ekonomi kota ini. Pada awal berdirinya Batavia, orang-orang Betawi hidup di antara percampuran budaya yang kompleks. Namun kini, seiring perkembangan zaman, mereka berhadapan dengan modernisasi yang sering kali tak berpihak kepada mereka. Politik dan ekonomi Jakarta semakin didominasi oleh elite dan investor yang kerap kali hanya mengejar keuntungan pribadi. Kebudayaan dan nilai-nilai asli Betawi pun terkikis, tergantikan oleh kapitalisme modern yang dingin.

Ekonomi Digital dan Masa Depan Politik Betawi

Jakarta saat ini berdiri di persimpangan antara masa lalu dan masa depan. Di satu sisi, kota ini dibangun di atas sejarah panjang masyarakat Betawi yang telah lama hidup di sini. Di sisi lain, arus modernisasi yang membawa serta teknologi seperti blockchain, aset kripto, dan ekonomi digital, terus melaju tanpa henti. Figur-figur politik baru seperti Kaesang adalah cerminan dari pergeseran ini.

Namun, apakah kemajuan ekonomi digital ini benar-benar akan membawa manfaat bagi masyarakat Betawi, atau justru semakin menjauhkan mereka dari kancah politik dan ekonomi yang seharusnya mereka kuasai? Ada kekhawatiran bahwa pergeseran menuju ekonomi digital, terutama dengan munculnya aset kripto, hanya akan menguntungkan segelintir orang, sementara masyarakat Betawi terus terpinggirkan dalam sistem yang semakin sulit mereka pahami dan akses.

Sebagai solusi, ada beberapa langkah yang perlu diambil. Pertama, masyarakat Betawi harus lebih dilibatkan dalam proses politik dan ekonomi Jakarta. Representasi politik Betawi harus ditingkatkan, tidak hanya sebagai simbol budaya, tetapi juga sebagai aktor utama dalam pembuatan keputusan yang menyangkut masa depan mereka. Kaesang, sebagai calon pemimpin muda, harus memprioritaskan isu-isu kesejahteraan lokal di atas kepentingan modal atau teknologi, serta memastikan bahwa kemajuan ekonomi digital tidak hanya menguntungkan investor, tetapi juga masyarakat setempat.

Kedua, transparansi dalam pemilihan umum harus ditingkatkan. Dalam konteks ekonomi digital, penggunaan teknologi blockchain sebenarnya bisa menjadi alat yang sangat berguna untuk menciptakan transparansi yang lebih baik dalam proses pemungutan suara dan pengelolaan dana kampanye. Blockchain, yang beroperasi pada prinsip desentralisasi dan catatan permanen, bisa mencegah gratifikasi dan korupsi dalam sistem politik. Dengan teknologi ini, publik dapat dengan mudah mengawasi setiap transaksi keuangan yang terkait dengan kampanye politik, sehingga keadilan lebih terjamin.

SUMBER: David Darmawan Media asset (c) 2024.
SUMBER: David Darmawan Media asset (c) 2024.

Kesimpulan: Menuju Jakarta yang Lebih Adil dan Transparan

Dalam Pilkada Jakarta 2024, Kaesang Pangarep dan teknologi digital seperti INDODAX adalah simbol dari perubahan besar yang sedang terjadi. Namun, di tengah semua perubahan ini, masyarakat Betawi tidak boleh diabaikan. Mereka adalah akar dari kota ini, dan peran mereka dalam proses politik dan ekonomi harus diperkuat.

Ke depannya, kita harus membangun sistem politik yang lebih transparan dan adil, di mana gratifikasi dan politik uang, baik dalam bentuk tradisional maupun digital, tidak lagi merusak demokrasi. 

Teknologi digital bisa menjadi bagian dari solusi ini, namun hanya jika digunakan dengan benar dan disertai komitmen kuat untuk mengutamakan kepentingan rakyat. 

Bagi Kaesang, tantangannya adalah membuktikan bahwa ia bisa menjadi pemimpin yang mengedepankan integritas, bukan sekadar mengandalkan nama besar atau modal yang dimilikinya.

Betawi harus diikutsertakan dalam perjalanan menuju masa depan yang lebih baik. Jakarta bukan hanya kota untuk para penguasa baru atau investor besar, tapi juga milik mereka yang telah lama menjaga adat, budaya, dan sejarahnya.

Adab dan Adat yang Terkikis: Ujung Jalan Pilkada Jakarta di Tahun 2024

Di langit Jakarta yang berdebu, bayangan pemilihan kepala daerah tahun 2024 semakin jelas. Di antara gemuruh suara kampanye dan bendera yang berkibar di setiap sudut jalan, ada bisik-bisik yang lebih pelan namun tak kalah mematikan: bisik-bisik tentang uang, tentang janji-janji yang takkan pernah terpenuhi, dan tentang kehormatan yang tergadaikan.

Jakarta, kota yang telah menjadi simbol kemegahan sekaligus ketidakadilan, kini berada di persimpangan sejarah. Dengan Pilkada yang menjulang, nama-nama calon mencuat ke permukaan---ada yang membawa panji "putra daerah", memanfaatkan keistimewaan adat dan kebanggaan etnis Betawi, sementara yang lain datang dengan segunung modal dan dukungan dari luar. Tapi apakah benar yang mereka bawa adalah mimpi untuk rakyat?

Kita ingat, Betawi bukanlah sekadar suku atau latar belakang etnis semata. Betawi adalah jiwa, identitas, dan kebudayaan yang berakar kuat pada adab dan adat. Dari zaman Batavia hingga kini, Betawi telah melewati badai penjajahan, reformasi, hingga gempuran globalisasi. Dalam setiap detak nadi sejarahnya, adab dan adat dijunjung tinggi. Tapi, di mana adab ketika pemimpin yang katanya putra daerah justru bergelimang gratifikasi? Di mana adat ketika apa yang dulu dianggap sakral, kini dijual murah di pasar politik?

Perhatikan permainan yang berlangsung di belakang layar. Kandidat-kandidat yang katanya "putra daerah" atau yang mewakili? atau bahkan ada yang berani mengatasnamakan!? datang dengan janji manis dan senyum yang teduh. Namun di balik itu, ada relasi yang penuh dengan aroma gratifikasi dan kepentingan pribadi. Setiap suara yang diberikan memiliki nilai tukar; bukan lagi tentang kepercayaan, tapi tentang uang yang mengalir di bawah meja. Di sinilah kita bertanya, di mana adab yang seharusnya dipertahankan? Di mana adat yang katanya dijunjung tinggi?

Di sisi lain, institusi-institusi besar yang ada untuk menjaga demokrasi, seperti KPU dan Bawaslu, seakan tenggelam dalam hiruk-pikuk kebisingan dan keruwetan. Mereka seolah tersandera oleh kekuatan uang dan pengaruh politik yang mencekam. Kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) bertebaran di mana-mana, mencemari proses demokrasi yang semestinya suci. Pilkada 2024 bukan lagi menjadi ajang untuk mencari pemimpin yang memiliki visi bagi rakyat, melainkan sekadar perayaan uang yang berputar.

Di tengah kekacauan ini, platform-platform digital seperti Indodax hadir dengan warna baru dalam peta ekonomi Jakarta. Indodax, yang menjadi simbol revolusi keuangan dengan teknologi blockchain, membawa janji akan transparansi dan keadilan dalam perdagangan aset digital. Tapi, ironisnya, dalam Pilkada Jakarta, transparansi dan keadilan justru semakin jauh. Transaksi uang elektronik mungkin terjadi di luar radar publik, namun benang merahnya tetap sama: siapa yang memiliki uang, dialah yang berkuasa.

Adakah harapan untuk Betawi bangkit? Apakah semua ini hanya akan menjadi siklus yang berulang, di mana suara rakyat kecil hanya dijadikan komoditas bagi mereka yang memiliki modal? Betawi, dengan segala kekayaan budayanya, kini terancam kehilangan jati diri. Para calon pemimpin yang mengklaim sebagai putra daerah seharusnya mengemban tanggung jawab besar untuk menjaga warisan ini. Bukan malah merusaknya dengan praktik-praktik kotor yang menghancurkan fondasi kepercayaan.

Di mana adab ketika gratifikasi menjadi bahasa sehari-hari di balik layar politik? Di mana adat ketika "putra daerah" hanya menjadi label kosong yang dijual demi kekuasaan? Betawi, yang dulu bangkit dengan semangat persatuan dan keadilan, kini berada di titik nadir, terseret dalam pusaran kepentingan pribadi.

Maka dari itu, bukan hanya soal siapa yang akan memenangkan Pilkada Jakarta 2024, tapi soal nilai-nilai apa yang akan tetap hidup setelahnya. 

Apakah Jakarta akan tetap menjadi kota dengan adat yang terjaga, atau akan menjadi mesin politik yang tak peduli dengan adab? Semua kembali pada kita, pada warga Jakarta yang memiliki suara, pada mereka yang masih peduli dengan nilai-nilai luhur yang kini terancam tenggelam di bawah lautan uang.

Betawi bangkit? Mungkin. Tapi hanya jika kita berani mengatakan: "Di mana adab, di mana adat?" dan mulai menuntut lebih dari sekadar janji politik.

"Adab dan Teknologi: Membuka Jalan untuk Jakarta dan Nusantara yang Cerdas dan Bermartabat"

Jakarta bukan sekadar ibu kota. Ia adalah simbol sejarah, kekuatan, dan kebudayaan bangsa. Tanpa Jakarta, tidak ada Indonesia, dan tanpa kaum Betawi, Jakarta tidak akan pernah menjadi kota yang kita kenal hari ini. Namun, dalam hiruk-pikuk politik modern, sering kali kita melihat bagaimana putra daerah diabaikan, seolah kampung halaman mereka tidak membutuhkan pemimpin yang memahami akar dan tradisi yang membentuknya.

Munculnya isu-isu seperti peretasan Indodax dan karut-marutnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) memperlihatkan bahwa banyak dari tantangan yang dihadapi negeri ini berujung pada satu hal: uang. Uang sering kali mengaburkan moral, etika, dan kepemimpinan. Namun, di tengah kegelapan ini, ada hikmah yang harus kita gali.

Kita, sebagai manusia, sering kali merasa bahwa kita mengetahui segalanya. Tetapi semakin kita belajar, semakin kita sadar bahwa pengetahuan kita hanyalah setetes air di lautan yang luas. Maka, alih-alih mengklaim diri sebagai penguasa ilmu, kita perlu kembali kepada adab dan adat---nilai-nilai yang sudah diwariskan oleh nenek moyang kita, yang memberi kita pegangan untuk menyikapi perubahan zaman dengan bijak.

Teknologi seperti blockchain, cryptocurrency, dan token digital adalah alat masa depan. Seperti halnya buku dan alat tulis pada masa lalu, mereka akan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. 

Namun, bagaimana kita memanfaatkannya? Di sinilah adab dan adat menjadi penting. Tanpa landasan moral yang kuat, teknologi hanya akan menjadi alat bagi mereka yang ingin memperkaya diri dengan mengorbankan banyak orang.

Solusinya adalah kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas. 

Sebagai warga Jakarta dan bangsa Indonesia, kita harus terus belajar dari kegagalan, dari kesalahan, dan menjadikan hari esok sebagai jawaban atas kerja keras hari ini. Kita bukanlah makhluk yang sempurna. Kita bodoh jika berpikir bahwa kita menguasai segala ilmu. Justru, kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa adalah kunci untuk terus maju.

Pentingnya adab dan adat ini juga menggarisbawahi bahwa kepemimpinan harus kembali ke tangan mereka yang memahami akar budaya, tradisi, dan nilai-nilai lokal. 

Betawi sebagai inti Jakarta harus diakui dan diberi ruang untuk memimpin di kampung halamannya sendiri. Karena pada akhirnya, teknologi hanyalah alat. Yang menentukan masa depan adalah bagaimana kita, sebagai manusia, menggunakannya dengan kebijaksanaan yang berlandaskan adab dan adat.

Kita belajar dari hari ini untuk menjadikan hari esok lebih baik. Betawi, Jakarta, dan Indonesia akan selalu menjadi bagian dari masa depan, asalkan kita tetap ingat dari mana kita berasal dan bagaimana kita harus melangkah ke depan.

"Menggapai Masa Depan dengan Adab dan Teknologi: Refleksi untuk Jakarta dan Bangsa"

Pada bagian narasi ini, penulis, menyimpulkan layaknya seorang anak Betawi tulen, Jakarta, kota yang menjadi nadi bangsa Indonesia, tidak hanya sekadar ibu kota. Ia adalah cermin sejarah, kebudayaan, dan simbol perjuangan. Tanpa Jakarta, Indonesia tak mungkin berdiri dengan tegak seperti hari ini. Dan tanpa kaum Betawi, yang telah mewarnai setiap sudut kota ini dengan kearifan lokalnya, Jakarta tak akan pernah menjadi diri yang kita kenal. Namun, ironisnya, dalam percaturan politik modern, para putra daerah---mereka yang paling memahami akar dan jiwa Jakarta---sering kali diabaikan oleh partai politik. Seolah ada jarak yang kian melebar antara kearifan lokal dan kebutuhan pragmatis politik.

Mengapa kita sering melihat tokoh-tokoh dari luar daerah yang dipilih untuk memimpin? Mengapa kaum Betawi tidak diberi kesempatan untuk menjadi "juragan" di tanahnya sendiri? Pertanyaan ini tidak hanya relevan bagi Jakarta, tapi juga bagi Indonesia secara keseluruhan. Betawi bukanlah sekadar identitas kultural; mereka adalah inti dari sejarah kota ini. Namun dalam dunia politik yang dipenuhi dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), kepentingan lokal sering kali tergerus oleh permainan uang.

Kisah Indodax dan Karut-Marutnya KKN

Kasus peretasan yang menimpa Indodax baru-baru ini adalah contoh nyata bagaimana kemajuan teknologi juga menyimpan sisi gelapnya. Di era digital, uang dan kekuasaan menjadi lebih mudah diakses oleh segelintir orang yang memanfaatkan celah sistem. Politik Indonesia juga tak luput dari penyakit yang sama---KKN yang sudah menjadi tumor ganas dalam sistem kenegaraan kita. Setiap kali ada pergantian kekuasaan, kita selalu disuguhi drama politik yang pada akhirnya bermuara pada satu hal: uang.

Namun, setiap peristiwa selalu mengandung hikmah. Kita perlu belajar dari kejadian-kejadian ini, bukan hanya untuk memahami bahwa dunia semakin kompleks, tetapi juga bahwa kita, sebagai manusia, masih punya banyak kelemahan. Kita sering kali berpikir bahwa dengan menguasai teknologi, ilmu pengetahuan, dan politik, kita bisa menguasai segalanya. Tetapi semakin dalam kita masuk ke dalam labirin ilmu, semakin kita sadar bahwa kita sebenarnya tidak tahu apa-apa. "Seperti katak dalam tempurung"---itulah kita jika hanya terpaku pada satu sudut pandang tanpa melihat lebih luas.

SUMBER: David Darmawan Media asset (c) 2024.
SUMBER: David Darmawan Media asset (c) 2024.

Kembali ke Adab dan Adat

Teknologi dan ilmu pengetahuan adalah alat yang penting untuk masa depan. Blockchain, cryptocurrency, dan token digital bukan hanya tren sesaat; mereka adalah "alat tulis" baru dalam sejarah manusia yang akan memainkan peran besar dalam ekonomi dan kehidupan sosial kita. Namun, jika kita tidak mendasari penggunaan teknologi ini dengan adab dan adat, maka kita hanya akan menambah kekacauan.

Adab---yang mengacu pada tata cara hidup yang beretika---dan adat---tradisi serta kebiasaan yang diwariskan---adalah fondasi dari kebijaksanaan yang harus kita pegang. Teknologi tanpa moral akan menjadi senjata yang merusak, bukan membangun. Seperti peribahasa Betawi, "Jangan sampai ayam mati di lumbung padi"---jangan sampai kita kehilangan nilai-nilai yang kita miliki di tengah kemewahan dan kemajuan teknologi.

Statistik dan Fakta: Menatap Masa Depan

Menurut data dari Transparency International, indeks persepsi korupsi Indonesia pada tahun 2023 berada di angka 34 dari 100, menunjukkan betapa dalamnya masalah KKN di negeri ini. Pada saat yang sama, peretasan dan serangan siber meningkat hampir 30% dibanding tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa keamanan digital menjadi tantangan serius. Namun di balik angka-angka ini, ada kesempatan besar. Blockchain, misalnya, menawarkan sistem yang lebih transparan dan aman untuk transaksi finansial, dengan potensi besar untuk memerangi korupsi melalui teknologi.

Sejarah juga mengajarkan bahwa perubahan besar sering kali dimulai dari krisis. Jakarta telah melalui berbagai masa sulit---dari zaman kolonial hingga masa reformasi---dan setiap kali, kota ini selalu bangkit dengan lebih kuat. Seperti pepatah lama, "Setelah hujan, pasti ada pelangi." Kini, di era digital ini, kita juga harus belajar bahwa solusi untuk masalah kita tidak hanya terletak pada teknologi, tetapi juga pada bagaimana kita menjaga adab dan adat dalam memanfaatkan teknologi tersebut.

Penutup: Kerja Cerdas, Kerja Ikhlas

Apa yang kita hadapi hari ini adalah tantangan global, namun solusinya harus dimulai dari lokal. Jakarta, sebagai simbol Indonesia, harus dipimpin oleh mereka yang memahami jiwanya. Kaum Betawi tidak boleh lagi dikesampingkan dalam kancah politik, karena tanpa mereka, Jakarta akan kehilangan jati dirinya.

Dalam perjalanan menuju masa depan, kita perlu kerja cerdas---menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bijak---serta kerja ikhlas---menjaga moral dan etika dalam setiap langkah kita. Teknologi seperti blockchain adalah bagian dari masa depan, namun adab dan adat adalah kunci untuk mengarahkan teknologi tersebut ke jalan yang benar. Kita mungkin tidak tahu segalanya, tetapi dengan kerendahan hati dan penghormatan pada nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur kita, kita bisa menatap masa depan dengan optimisme.

Sebagaimana pepatah Betawi yang mengatakan, "Berkaca di air keruh, susah nampak wajah sendiri." Mari kita membersihkan cermin kehidupan kita dari kekeruhan politik uang, KKN, dan eksploitasi teknologi, agar wajah kita---sebagai bangsa yang beradab---dapat terlihat jelas di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun