Di mana adab ketika gratifikasi menjadi bahasa sehari-hari di balik layar politik? Di mana adat ketika "putra daerah" hanya menjadi label kosong yang dijual demi kekuasaan? Betawi, yang dulu bangkit dengan semangat persatuan dan keadilan, kini berada di titik nadir, terseret dalam pusaran kepentingan pribadi.
Maka dari itu, bukan hanya soal siapa yang akan memenangkan Pilkada Jakarta 2024, tapi soal nilai-nilai apa yang akan tetap hidup setelahnya.
Apakah Jakarta akan tetap menjadi kota dengan adat yang terjaga, atau akan menjadi mesin politik yang tak peduli dengan adab? Semua kembali pada kita, pada warga Jakarta yang memiliki suara, pada mereka yang masih peduli dengan nilai-nilai luhur yang kini terancam tenggelam di bawah lautan uang.
Betawi bangkit? Mungkin. Tapi hanya jika kita berani mengatakan: "Di mana adab, di mana adat?" dan mulai menuntut lebih dari sekadar janji politik.
"Adab dan Teknologi: Membuka Jalan untuk Jakarta dan Nusantara yang Cerdas dan Bermartabat"
Jakarta bukan sekadar ibu kota. Ia adalah simbol sejarah, kekuatan, dan kebudayaan bangsa. Tanpa Jakarta, tidak ada Indonesia, dan tanpa kaum Betawi, Jakarta tidak akan pernah menjadi kota yang kita kenal hari ini. Namun, dalam hiruk-pikuk politik modern, sering kali kita melihat bagaimana putra daerah diabaikan, seolah kampung halaman mereka tidak membutuhkan pemimpin yang memahami akar dan tradisi yang membentuknya.
Munculnya isu-isu seperti peretasan Indodax dan karut-marutnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) memperlihatkan bahwa banyak dari tantangan yang dihadapi negeri ini berujung pada satu hal: uang. Uang sering kali mengaburkan moral, etika, dan kepemimpinan. Namun, di tengah kegelapan ini, ada hikmah yang harus kita gali.
Kita, sebagai manusia, sering kali merasa bahwa kita mengetahui segalanya. Tetapi semakin kita belajar, semakin kita sadar bahwa pengetahuan kita hanyalah setetes air di lautan yang luas. Maka, alih-alih mengklaim diri sebagai penguasa ilmu, kita perlu kembali kepada adab dan adat---nilai-nilai yang sudah diwariskan oleh nenek moyang kita, yang memberi kita pegangan untuk menyikapi perubahan zaman dengan bijak.
Teknologi seperti blockchain, cryptocurrency, dan token digital adalah alat masa depan. Seperti halnya buku dan alat tulis pada masa lalu, mereka akan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita.
Namun, bagaimana kita memanfaatkannya? Di sinilah adab dan adat menjadi penting. Tanpa landasan moral yang kuat, teknologi hanya akan menjadi alat bagi mereka yang ingin memperkaya diri dengan mengorbankan banyak orang.
Solusinya adalah kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas.
Sebagai warga Jakarta dan bangsa Indonesia, kita harus terus belajar dari kegagalan, dari kesalahan, dan menjadikan hari esok sebagai jawaban atas kerja keras hari ini. Kita bukanlah makhluk yang sempurna. Kita bodoh jika berpikir bahwa kita menguasai segala ilmu. Justru, kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa adalah kunci untuk terus maju.