Saat ini, kaum Betawi berada di persimpangan jalan.
Di satu sisi, kita adalah pewaris tanah yang kaya akan sejarah dan budaya, tempat di mana para leluhur kita telah menetapkan akar dan mengukir warisan yang luar biasa.
Di sisi lain, kita masih menghadapi tantangan besar dalam memperjuangkan kedaulatan penuh di tanah kita sendiri, baik secara politik maupun budaya.
Kita harus bertanya: mengapa kita, kaum Betawi tulen, masih belum berdaulat 100% di tanah kita sendiri? Statistik menunjukkan bahwa komunitas Betawi, meski memiliki akar yang dalam di Jakarta, sering kali merasa terpinggirkan dalam arus modernisasi dan perkembangan kota.
Angka partisipasi politik kita masih belum maksimal, dan meskipun ada perda dan UU yang seharusnya melindungi budaya kita, kenyataannya perjuangan untuk mempertahankan identitas Betawi masih panjang dan berliku.
Surat Al-Baqarah ayat 216 mengingatkan kita, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." Ayat ini mengajarkan kita untuk bersyukur atas segala keadaan yang kita alami, karena di balik setiap kesulitan, ada hikmah yang mungkin belum kita pahami.
Sebagai kaum Betawi, kita harus belajar dari ayat ini dan memahami bahwa segala tantangan yang kita hadapi adalah bagian dari rencana yang lebih besar.
Kita harus mengintrospeksi diri, keluarga kita, dan saudara-saudara kita. Mengapa kita belum sepenuhnya menjadi tuan di tanah sendiri? Jawabannya mungkin terletak pada kurangnya pendidikan, kurangnya persatuan, dan terkadang, kurangnya kesadaran akan pentingnya mempertahankan warisan budaya kita di tengah arus globalisasi. Menjelang PILKADA 2024, ini adalah momen penting bagi kita untuk bermuhasabah. Kita harus belajar lebih banyak, bukan hanya tentang politik, tetapi juga tentang budaya kita sendiri. Kita harus belajar menjadi juragan dan jawara di kampung kita sendiri, memastikan bahwa kita memegang kendali atas tanah leluhur kita. Ini bukan hanya tentang memenangkan suara, tetapi juga tentang memenangkan hati dan pikiran komunitas kita sendiri, dengan cara yang penuh hormat dan bermartabat. Kita juga harus menolak dengan tegas siapa pun yang mencoba menjual "Betawi" sebagai komoditas untuk kepentingan sesaat. Betawi bukanlah merek dagang yang bisa diperdagangkan demi keuntungan pribadi. Betawi adalah identitas, warisan, dan "Spirit" (dalam konteks arti "Semangat" "Giroh") "Soul" (dalam artian Ruh, jiwa) masa depan kita. Kita tidak boleh membiarkan oknum-oknum yang hanya memanfaatkan nama Betawi untuk meraih kekuasaan tanpa memperjuangkan kepentingan kita yang sebenarnya.
Kata-kata di atas yang tersusun dalam kalimat-kalimat di artikel ini, adalah wujud dari ikhtiar penulis demi ngebangkitin Betawi!
Insya Allah, "Betawi" akan tetap hidup, meski kita tak lagi hadir di dunia ini, saat kita telah kembali kepada Ilahi Rabbi. Hingga tiba hari pertemuan kita di akhirat nanti, segala yang kita lakukan, setiap langkah dan karya untuk "Betawi" tercinta, akan dihisab. Itu adalah bagian dari perjalanan menuju keabadian yang hakiki.
Renungkanlah, wahai saudara, apa yang akan kita wariskan kepada anak cucu di tanah leluhur kita, di kampung yang telah menjadi saksi perjuangan kita. Warisan yang bukan sekadar harta, tapi nilai-nilai, budaya, dan identitas. Sebuah amanah yang kelak akan menjadi lentera bagi generasi penerus, agar "Betawi" tetap menyala dalam cahaya iman dan sejarah yang abadi.