Suatu hari dalam di sebuah bis antar kota antar provinsi, dua orang pria paruh baya bertemu. Mereka berdua dari desa di pelosok Jawa Tengah dan berniat ke ibukota membawa pesan dari kawan-kawan di Kampungnya. Pria pertama bernama Kadiwono, berasal dari Rembang, ia merupakan orang pilihan warga desa untuk membawa pesan ke ibukota. Satu lagi orang bernama Pati, membawa pesan juga kepada ibukota.
Kadiwono: Mau ke Jakarta juga, Mas?
Pati: Iya Pak. Bapak Juga?
Kadiwono: Iya, saya  mau ketemu Presiden.
Pati: Wah hebat. Dalam rangka apa?
Kadiwono: Protes
Pati: Protes apa? Wah biasanya kalau ada protes seperti ini dan sampai Pak Presiden ketemu langsung, berarti ada masalah besar.
Kadiwono: Sebenarnya tidak besar, cuma ada yang membesar-besarkan.
Pati: Pasti yang suka membesar-besarkan itu orang-orang yang tidak punya kerjaan.
Kadiwono: Bapak juga ke Jakarta?
Pati: Iya
Kadiwono: Dalam rangka?
Pati: Membela teman.
Kadiwono: Membela Teman sampai harus ketemu dengan Pak Presiden. Masalah apa?
Pati: Pembangunan Pabrik Semen
Kadiwono: Pabrik Semen dimana?
Pati: Sukolilo, Rembang.
Kadiwono: Lho, itu kampungku lho Pak. Bapak bukan dari Sukolilo kan kalau tidak salah?
Pati: Bukan, saya dari Kabupaten Sebelah Rembang
Lalu kedua orang tersebut saling diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing dan segan bertanya perihal kepentingan lawan bicaranya bertemu dengan Presiden. Bus sudah memasuki wilayah Indramayu. Irama dangdut pantura terdengar dimana-mana. Radio bus pun memutar lagu yang sama.
Pati: Bapak ketemu  Presiden karena masalah apa?
Kadiwono: Saya mau protes kok Pabrik Semen tidak jalan-jalan.
Pati: Kok?
Kadiwono: Protes. Karena warga desa saya banyak yang kerja di proyek itu. Kita sekarang nganggur. Di Rembang itu kerjaan susah mas. Pabrik Semen itu bisa kasih kita kerjaan.
Pati: Lho Pak, saya ke Jakarta mau protes tentang kampung di Rembang yang mau dijadikan Pabrik Semen
Kadiwono: Kenapa Bapak protes?
Pati: Pabrik Semen punya negara itu merusak tanah warga. Mengambil air. Bapak tidak takut hal tersebut?
Kadiwono: Lho, pabrik semen sudah menjamur sejak tahun 1995 Pak, tidak ada kasus warga kehausan sampai sekarang. Makanya warga desa Sukolilo tidak protes. Kami bersukur ada pabrik semen disana, apalagi akhirnya ada Semen punya negara.
Pati: Lho saya dengar justru pada protes pak karena banyak warga Samin yang protes.
Kadiwono: Dari saya kecil, tidak ada warga Samin di Kampung saya. Warga Samin itu di Kendeng. Kami hidup di Rembang. Kendeng dan Rembang beda Pak
Pati: Lho Pak, kalau ada Pabrik Semen disana, bisa makin miskin Bapak dan warga desa.
Kadiwono: Kami akan makin miskin kalau tidak ada pabrik Semen disana. Kami ingin ada alternatif pekerjaan Pak. Dulu kami cuma bertani. Semangat sekolah tidak ada karena percuma sekolah tinggi kalau ujungnya jadi petani kecil kecuali kalau kita mau pergi merantau ke Jakarta. Kalau ada pabrik Semen disana, kami jadi  semangat sekolahin anak-anak, ada alternatif pekerjaan, kami ndak usah merantau ke kota besar lagi. Lagipula Pak, saya tidak percaya negara bakal makan warganya sendiri yang sudah kerja di proyek Semen ini. Kalau benar-benar merusak, pasti banyak daerah di Indonesia yang berisik dengan adanya Semen punya negara Pak
Pati: ....
Kadiwono: Di Kampung Bapak, pabrik semen punya negara juga diusir?
Pati: Ya, kami berhasil usir mereka. Tapi kami ketipu..
Kadiwono: Kenapa Pak?
Pati: Waktu Semen Negara pergi dari kampung kami, tiba-tiba muncul Pabrik Semen Indosemen. Lalu mereka sekarang sudah beroperasi. Aktivis yang dulu dukung kita sudah hilang entah kemana
Kadiwono: Ketipu..makanya kita warga Sukolilo mau perjuangin Semen Negara ini Pak. Pak Bupati sudah usaha keras, saya juga usaha untuk bela teman-teman saya yang sudah taruh harapan
Pati : ....
Kadiwono: Kami ndak mau kalau harus merantau ke Jakarta jadi kuli di ibukota. Kalau ada Semen Negara di kampung kami, kami bisa dapet air bersih, dapet sekolah, rumah dibangun. Macam-macam lah pak..
Pati: Aku malu jadinya sama teman-teman di Kampung.. kami ketipu gila-gilaan
Kadiwono: Ya orang kecil suka ditipu pak, gampang ditipu maksudnya
Lalu mereka masing-masing kembali terdiam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Pati: Sampai kapan Pak bakal nganggur?
Kadiwono: Sampai setahun kedepan sepertinya..
Pati: Kok lama sekali?
Kadiwono: Pemerintah mau periksa lagi  kampung kami, bisa dibangun pabrik dan tambang atau tidak. Gara-gara orang-orang yang dibayar sama pihak yang tidak jelas kita jadi nganggur.
Pati: Jangan sampai bernasib seperti kita di Kabupaten Sebelah ya Pak
Kadiwono: Kalau sampai tidak jadi dibangun, para aktivis itu harus tanggung jawab kami tidak punya kerjaan dan anak-anak  kami tidak jadi sekolah
Pati: Benar..
Mereka sampai di Jakarta pada tengah hari. Kadiwono melanjutkan perjalanan ke pusat kota, sedangkan Pati tidak jadi turun
Kadiwono: Tidak ikut turun Pak?
Pati: Ndak jadi, aku malu ketemu Presiden.. mau pulang ke kampung saja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H