Mohon tunggu...
David Putera Anugrah
David Putera Anugrah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa jurusan Ilmu hubungan international UPN "VETERAN" YOGYAKARTA

Hobi saya adalah menonton film. Maka dari itu, topik pembicaraan favorit saya adalah yang terkait dengan pembahasan film.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jatuh Bangun Amerika Pada Masa Pemerintahan Presiden Warren Harding Melalui Kacamata Post-Strukturalis

29 Mei 2024   16:00 Diperbarui: 30 Mei 2024   13:06 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Presiden Warren Harding adalah presiden ke-29 yang memerintah Amerika Serikat. Beliau menjabat sebagai presiden Amerika mulai dari tahun 1921-1923.

Esai ini akan membedah bagaimana seorang Warren Harding sebagai pemimpin tertinggi salah satu negara terkuat yang pernah ada melalui kacamata teori post-strukturalisme.

Sebelum membahas lebih lanjut, masih kita telusuri terlebih dahulu tentang teori post-strukturalisme. Mari kita lihat dari asal-usul, apa yang kritik dari teori post-strukturalis, bagaimana kondisi dunia hingga pada akhirnya teori post-strukturalis muncul, argumen-argumen, dan para pemikir teori post-strukturalis.

Berbeda dengan teori realisme yang memiliki pandangan yang sangat berlainan dengan teori liberalis, walaupun tidak sepenuhnya sama dan tetap memiliki ciri khas masing-masing, teori post-strukturalisme berbagi pandangan yang sama terkait perubahan dan bagaimana peran negara dalam faktor historis dengan teori marxism, feminisme, konstruktivisme, post-kolonialisme, dan teori kritis.

Menurut Tom Lumborg (2016: 114) satu hal yang membedakan teori post-strukturalisme dengan teori lain adalah teori post-strukturalisme memberikan cara berpikir baru dalam memberikan kritik dengan tujuan utama yaitu "membongkar" realita politik yang ada sekarang.  

Membongkar atau deconstruct adalah kata kunci dalam memahami teori post-strukturalisme. Nietzsche menganalogikannnya seperti ini, "jika berbicara sesuatu tentang dunia, maka akan secara otomatis kita akan berbicara tentang dunia yang kita inginkan." Dunia yang diinginkan bukanlah fakta dan realita yang benar-benar terjadi dan komprehensif, melainkan asumsi-asumsi pribadi yang telah terbentuk dan terdoktrin oleh paradigma sosial yang ada sekarang. Doktrin-doktrin atau cara pandang sosial inilah yang coba dibongkar oleh teori post-strukturalisme.

Selain deconstruct, teori post-strukturalisme juga erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan atau knowledge. Bahkan menurut buku yang ditulis oleh Richard Devetak yang berjudul Theory Of International Relations, dalam bab teori post-strukturalisme yang dibahas terlebih dahulu, dan ditekankan yang paling utama adalah bagaimana hubungan antara kekuasaan (power) dengan ilmu pengetahuan (knowledge) yang menjadi cikal bakal munculnya cara berpikir post-strukturalis.

Teori post-strukturalis muncul kala ilmu pengetahuan dianggap sebagai suatu hal yang murni dan tak terpengaruh oleh kekuasaan atau power. Hal ini juga disebabkan karena doktrin dari para ilmuan-ilmuan terdahulu (orthodox social scientific accounts). Hal inilah yang menjadi kritikan dari teori post-strukturalisme.

Karena doktrin inilah muncul para pemikir yang mencoba menentang dan memberikan argumen-argumen seperti Friedrich Nietzsche dan Michel Foucault. Dimana menurut Michel Foucault bahwa, "Power and knowledge are mutually supportive; they directly imply one another (Foucault 1977: 27). Lalu argumen Foucault ini dilanjutkan oleh Richard Ashley dimana beliau berargumen bahwa ilmu pengetahuan sangatlah berkaitan erat dengan kekuasaan.

Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan maka akan mendapatkan kekuasaan. Jika dimasukkan dalam konotasi aktor negara maka para pejabat atau para elit pemerintah yang mengatur negara adalah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Cara pandang Michel Foucault dan Richard Ashley inilah yang menjadi argumen dasar dalam menganalisis isu atau lebih tepatnya peristiwa masa pemerintahan presiden Warren Harding.

Tapi dalam pembahasan esai ini, argumen Michel Foucault dan Richard Ashley dikembangkan. Yaitu bagaimana ilmu pengetahuan juga berkaitan akan bagaimana perilaku seseorang ketika mendapatkan kekuasaan. Ataupun bagaimana orang tersebut memanfaatkan ilmu pengetahuan dan kekuasaan yang dimiliki dengan bijak. 

Presiden Warren Harding adalah gambaran sempurna dari seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Ilmu pengetahuan yang beliau miliki tidaklah diragukan, begitu pula dengan kekuasaan yang dimiliki.

Intelektualitasnya tidak diragukan lagi, apalagi kharismanya. Beliau dikenal sebagai pribadi yang vokal, aktif, dan mengundang banyak perhatian. Karena pengaruhnya inilah membuat Warren Harding sangatlah populer di kalangan partai republik, dan menjadi kandidat utama menjadi capres dalam pemilu tahun 1920 melawan Franklin Roosevelt dan James Cox yang pada akhirnya ia pun menang.

Lalu bagaimana seorang intelektual yang memiliki kekuasaan memberikan perubahan dan apa dampaknya bagi rakyatnya? Sayangnya sejarah sudah menjawabnya.

Era pemerintahan presiden Warren Harding tidaklah dikenang dengan baik. Pemerintahan nya dikenal sebagai salah satu pemerintahan dengan angka korupsi yang sangat tinggi dalam sejarah pemerintah Amerika.

Hal ini semakin diperparah dengan kebiasaan Harding yang suka berpesta dan bermain judi. Bahkan Gedung Putih (White House) sekalipun disebut lebih seperti tempat bermain judi daripada kantor presiden.

Lalu apa yang menjadi realita atau paradigma atau construct dari peristiwa ini yaitu bagaimana cara pandang masyarakat terhadap seorang pemimpin. Pemimpin biasanya dilihat dari personal, cara bagaimana mereka mencuri perhatian rakyat, serta bagaimana citra mereka ditampilkan.

Bahkan streotip atau cara berpikir seperti ini masih ada hingga sekarang. Dimana rakyat cenderung memilih seorang pemimpin yang mereka sukai tapi tidak memikirkan bagaimana pemimpin tersebut menggunakan intelektual mereka untuk membuat suatu kebijakan yang mensejahterakan rakyat dan memajukan negara.

Streotip seperti inilah, dalam kasus presiden Warren Harding coba dibongkar oleh teori post-strukturalisme. Bahwa seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan citra diri yang menarik perhatian maka akan mendapatkan kekuasaan, belum tentu menggunakannya dengan bijak.

Lalu bagaimana orang tersebut mengimplementasikan ilmu pengetahuan yang ia miliki menjadi sebuah perubahan?  Presiden Warren Harding berhasil  mengadakan Washington Naval Conference yang bertujuan untuk mencegah perlombaan untuk memiliki senjata perang.

Namun jika dibongkar melalui sudut pandang teori post-strukturalis, maka presiden Harding memiliki banyak sekali skandal kriminal.

Melalui peristiwa ini, analisis melalui sudut pandang teori post-strukturalisme mencoba membongkar pemikiran bahwa belum tentu seseorang yang memiliki citra yang baik dan intelektualitas yang tinggi ketika diberikan kekuasaan akan menggunakan kekuasaan dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk memberikan dampak perubahan yang signifikan dan memberikan maanfaat bagi rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun