Hizbut Tahrir Indonesia  (HTI) bukan merupakan organisasi yang asli berasal dari tanah air, jika melihat dari awal mula kemunculannya organisasi ini merupakan gerakan yang transaksional yang berasal dari negara tempat lahirnya yakni Palestina sebagai respons kelanjutan dari gerakan Ikhwanul Muslim. Keduanya memiliki kesamaan yaitu mengkritik pemerintahan yang sah sebagai bentuk perjuangan Islam kontemporer.Â
Membahas  Hizbut Tahrir di Indonesia pertama kali masuk pada tahun 1983, dalam penyebarannya tidak dapat terlepas peran dari tokoh bernama Abdurrohman Al-Baghdadi dan Abdullah bin Nuh. Keduanya memiliki peran penting dalam mentransmisikan ide-ide Hizbut Tahrir di Indonesia, Al-Baghdadi yang berasal dari Yordania yang bermigrasi ke Australia tahun 1960-an. Sedangkan Abdullah bin Nuh merupakan pengasuh pesantren Al-Ghozali yang berada di Bogor, Jawa Barat.
Untuk mewujudkannya tersebut, Hizbut Tahrir berkeinginan menyatukan umat Islam melalui sistem khilafah. Hizbut Tahrir menegaskan pentingnya untuk menerapkan syariah dalam sebuah negara. Dalam penyebarannya, HTI memilih jalan dakwahnya dengan memfokuskan pada bidang keilmuan sebagai landasan penyebaran idenya. Sehingga organisasi ini dikenal bercirikan gerakan intelektual ketimbang melalui aksi fisik sebagaimana organisasi radikal Islam lainnya.Â
Pasca runtuhnya Orde Baru, menjadi peluang yang dimanfaatkan berbagai organisasi dengan mengatasnamakan agama untuk mengklaim gagalnya pemerintah dalam mengelola negara. Salah satu alasan inilah yang kemudian menjadi semangat HTI untuk mempromosikan sistem khilafah sebagai solusi atas permasalahan yang terjadi. Seiring perkembangannya HTI dirasa makin masif dalam mengupayakan ide dan cita-citanya mendirikan negara Islam.
Secara garis besar gerakan yang dilakukan HTI melalui tiga langkah yaitu fase pertama lewat pemikiran dengan fokus keilmuan, kedua fase revolusi berfikir yaitu dengan interaksi kepada masyarakat, dan yang ketiga fase mengambil alih kekuasaan dengan gerakan massa. Tahap inilah yang menjadi kekhawatiran pemerintah Indonesia, sehingga muncul ide pemerintah untuk membubarkan HTI.Â
Pembubaran HTI tentu memunculkan pertanyaan mengapa hal itu baru terjadi pada masa pemerintahan Jokowi. Pada era-era sebelumnya HTI dibiarkan aktivitasnya. Hal tersebut tak terlepas dari program pemerintah yang berupaya memperkuat nilai-nilai demokrasi dengan paham nasionalisme. Oleh karena itu, pemerintah akan bertindak tegas pada paham-paham yang berbau anti Pancasila yang dikhawatirkan akan mengancam kesatuan dan persatuan NKRI.Â
Pemerintah lewat Menkumham menyatakan bahwa HTI telah melanggar empat pilar bangsa yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. HTI diangap melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan ideologi bangsa Indonesia. Untuk itu, dengan melalui Menkumham, pemerintah mengumumkan rencana pembubaran HTI pada 8 Mei 2017 yang lalu.
Tepat pada 12 Juli 2017, pemerintahan Joko Widodo menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang menjadi landasan dasar resmi pembubaran HTI. Langkah ini diambil karena HTI sebagai Ormas yang berbadan hukum dianggap tidak memiliki kontribusi penting dalam mendukung pembangunan. Sebaliknya, kegiatan HTI justru dinilai berpotensi mengikis nilai-nilai Pancasila dan UUD NKRI 1945. Keputusan ini dianggap terlambat jika dibandingkan 20 negara lain di dunia yang terlebih dulu membubarkan organisasi Hizbut Tahrir seperti Arab Saudi, Turki, Yordania, Mesir, dan lainnya termasuk negara kelahirannya yaitu Palestina.Â
Tidak bisa dipungkiri bahwa meskipun HTI sudah resmi dibubarkan dan sudah jelas menjadi organisasi terlarang, akan tetapi semangat dan cita-cita dalam mendirikan Daulah Islamiyah akan terus diupayakan untuk diwujudkan. Meskipun dalam beberapa riset yang dilakukan oleh mantan  anggota HTI sendiri telah menegaskan bahwa cita-cita tersebut tidak lebih dari khayalan belaka.Â
Hal lainnya juga dalam garis perjalanannya, HTI memberikan batas waktu 3 tahun sejak berdiri untuk harus bisa memegang kendali pemerintahan paling sedikit 13 tahun. Tentu bukan waktu yang singkat, sehingga dengan mempertimbangkan kondisi dan tekanan yang bertubi-tubi tersebut diperpanjang sampai tiga dasawarsa. Namun faktanya sampai sekarang telah berapa puluh tahun sudah berlangsung Daulah Islamiyah tidak kunjung terwujud. Ide-ide yang digagas oleh Hizbut Tahrir seperti sebuah pemborosan yang sangat jauh dari kenyataan.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan pendiri Hizbut Tahrir itu sendiri yakni Taqiyuddin An-Nabhani yang mengakui bahwa misi ini sangat sulit dicapai bahkan mustahil terlaksana di beberapa negara yang di dalamnya menganut paham demokrasi dengan paham-paham nasionalisme seperti di Indonesia. Melihat kenyataan yang demikian, sebenarnya tidak perlu khawatir akan keberadaan HTI.Â
Meskipun disseminasi HTI melalui isu-isu yang digulirkannya mampu menarik atensi yang luas di kalangan masyarakat, namun tidak untuk ide khilafahnya. Ide khilafah dan syariah Islam masih belum popular oleh masyarakat Indonesia, terbukti dengan berbagai survey menunjukkan bahwa banyak yang tidak sepakat agama menempati posisi yang formal dalam kehidupan beragama, dan banyak yang menolak implementasi syariah dalam peraturan perundangan di Indonesia.Â
Ditambah partai-partai Islam yang mengusung ide syariahisasi sudah tidak lagi menonjolkan isu tersebut disebabkan kurang popularnya hal itu untuk diusung. Sebaliknya, keberadaan HTI dapat menjadi pembelajaran dan indeks untuk mengetahui seberapa jauh paham demokrasi dan nasionalisme anak bangsa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H