Sebutlah saya yang jelas bukan merupakan orang yang memiliki tabungan > Rp. 2 Milyar. Parahnya lagi saya sering tergoda untuk menghabiskan saldo yang ada di ATM. Di lain pihak, saya juga sadar bahwa sikap tersebut tidak bisa dibiarkan. Jadi langkah yang saya ambil adalah menyisihkan uang tiap bulan untuk membeli barang secara mencicil. Dengan mencicil berarti tiap bulan saya harus menyisihkan uang dan ketika periode cicilan sudah selesai, saya akan mendapatkan barang. Barang yang dicicilpun harus  barang yang tidak menurun nilainya akibat pemakaian, cicilan tidak boleh memberatkan karena bunga yang tinggi. Pilihan saya adalah Logam Mulia (LM) alias emas batangan. Dengan ukuran yang bervariasi  ( dari 1 gram hingga 5 kg ) membuat kita bisa menyesuaikan dengan kemampuan keuangan.
 "Mbak, saya sudah punya 4 batang LM/ 6 batang LM."
Tak perlu tanya lebih jauh LM yang berapa gram yang mereka punya sebab perkataan selanjutnya sungguh menyentuh, "Mbak, saya gak sangka bisa punya emas batangan. Dulu mikirnya, pasti orang kaya yang bisa punya emas."
Para pengumpul emas batangan seperti kami memiliki mimpi-mimpi besar yang memerlukan dana yang banyak yang harus dihimpun dalam waktu lama, makanya pas harga LM naik dan terus naik hingga mencapai sejuta/ gram, pastinya kami bergembira namun tidak otomatis membuat  kami menjualnya, sebab meminjam istilah seorang capres ketika masa kampanye "Lebaran kuda masih jauh."
Tentunya jika ada yang menjual juga tidak salah karena emak-emakpun berjiwa trader bursa saham, mengambil capital gain.
Yang seringnya adalah menggadaikan LM untuk kebutuhan hidup, "Enam-enamnya sudah kugadaikan tapi pas THR dari Ayahku turun langsung ditebus deh."
Disini kami merasa beruntung masih memiliki simpanan LM yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi sehingga bisa menjadi safety net.Â
Kebutuhan Hidup Makin Berat
 Pandemi yang menyerang nyaris seluruh belahan dunia sungguh meluluh lantakan segala segi kehidupan. Tidak hanya masalah kesehatan namun juga pada sisi ekonomi, padahal ketika masalah ekonomi menghantam seorang pencari nafkah, maka imbasnya akan sampai ke anak isteri. Bukan hanya menyentuh masalah sandang dan pangan tapi dikhawatirkan bisa menyentuh kesehatan kejiwaan. Beberapa pengamat sosial khawatir akan terjadinya KDRT atau pemanfaatan anak untuk mencari nafkah.
Penerapan PSBB untuk memutus mata rantai penularan Corona membuat aktifitas ekonomi terhambat. Walaupun sekarang sudah memasuki masa New Normal dan dikatakan ekonomi sudah berdenyut, kenyataannya perusahaan-perusahaan masih berdarah-darah. Kalau perusahan berdarah, pastinya berimbas ke karyawan. Beberapa perusahaan tempat kerja teman sudah merelokasi fasilitas usahanya, yang tadinya berkantor di kawasan komersial Cilandak KKO jadi pindah ke Cilincing, yang tadinya kantor di Grand Indonesia pindah ke ruko di perumahan kami. Sudah hijrah ke Cilincing, ternyata belum cukup menghemat, akhirnya teman saya diberitahu bahwa Agustus nanti akan ada pengurangan karyawan. Teman saya yang akhirnya berkantor di ruko kompleks juga sudah dipotong gajinya 10%. Dan entah apa lagi yang akan dialami dunia usaha korporasi berikut karyawannya.