Mohon tunggu...
Dee Daveenaar
Dee Daveenaar Mohon Tunggu... Administrasi - Digital Mom - Online Shop, Blogger, Financial Planner

Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama, dan kami sembah dengan berbagai cara, jauhkanlah kami dari sifat saling melecehkan. Amin.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lebih Baik Dibohongi Jokowi daripada Dikasari Prabowo

15 Mei 2019   08:10 Diperbarui: 15 Mei 2019   09:51 2599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru saja saya menghenjakkan badan di bangku belakang taksi online, pak supir menyapa dengan ramah, "Assalamualaikum, Bu."

Belum pernah ada supir taksi online menyapa demikian, maka dengan gembira saya jawab salam itu,"Wa'alaikumsalam. Pak."

Kendaraan meluncur menuju Jalan Rasuna Said, tujuan yang cukup dekat dari tempat awal di Pancoran. Namun jalanan yang macet membuat pak supir mengajak bicara,

"Bu, waktu Pemilu kemarin di tempat Ibu, siapa yang menang?"

"Ada 4 TPS dimana 2 TPS memenangkan Jokowi, 2 TPS memenangkan Prabowo. Tapi secara jumlah suara masih menang Prabowo." Jelas saya.

"Oh kalau begitu sama dengan di daerah rumah saya." Pak supir berkata sembari menerangkan prefrensi beberapa warga yang dikenal.

Beberapa pensiunan PNS dan ASN yang masih aktif berterus terang memilih Jokowi padanya dan pak supir heran, "Kan gaji mereka dibayar dari utang negara ya, Bu. Jadi loyalitas harusnya pada rakyat, bukan pada Jokowi."

Saya cuma senyum-senyum saja demi mendengar argumen pak supir yang cerdas. Akhirnya pak supir melemparkan "bom" pertanyaannya, "Kelihatannya bakalan panjang ya, Bu."

Saya mengiyakan sembari menarik napas panjang, prihatin. Pak supir melanjutkan,

"Saya sebenarnya ga suka Prabowo -- orangnya. Tapi saya lebih ga suka kebohongannya Jokowi."

Saya jadi ingat percakapan dengan seorang Kompasianer, "Kalau capresnya Sandiaga Uno, terus cawapresnya Prabowo, sepertinya pemilihnya bakalan lebih banyak ya Pak."

"Iya, Bu. Tapi Prabowo mana mau, ini pertaruhannya terakhir. Umurnya kan dah banyak," jawab pak supir yang bikin saya berdecak. Masalah politik saat ini sudah jadi domain bersama, tak hanya politisi, kaum millenial bahkan emak-emak dan para pekerja formal maupun informal jadi paham dan ikut serta meramaikan politik, entah itu di dunia digital ataupun menjadi relawan.

Ajaibnya kebohongan Jokowi  itu rupanya juga  disadari para pendukungnya, paling tidak yang ada di kantor saya yang mayoritas berisi warga keturunan Cina. Ci Wawa suatu hari mengatakan,

"Biarin deh kita dibohongi Jokowi daripada dikasarin Prabowo. Wih takut gue mah."

Saya yang mendengarnya hanya bisa terbengong dan ci Wawa segera membuang muka demi menyaksikan ekspresi saya.

Jadi pendukung masing-masing kubu sebenarnya tahu kualitas jagoannya dan mereka menurunkan standard requirement demi menyesuaikan dengan keadaan.

Seorang teman pernah menyajikan data terkait dengan 62 janji kampanye Jokowi pada Pemilu 2014 yang diingkari. Satu yang pernah saya saksikan saat kampanye 2014 itu adalah janjinya untuk tidak berhutang. 

Ketika mendengarnya, saya langsung protes ( di depan televisi ).  Tidak mungkin membiayai pembangunan Negara tanpa berhutang. Dan saya menerimanya sebagai ketidakpahamannya akan ekonomi makro, saya tetap memilih Jokowi di tahun 2014 itu.

Terbukti ketika menjabat sebagai Presiden, hutang demi hutang diajukan pada negara kreditur. Begitu menggunungnya hutang Negeri dan dalih bahwa utang negara belum menyentuh angka 30% dari PDB yang merupakan ambang batas aman selalu dikemukakan. Hal yang membuat saya jadi ngeri melihatnya. 

Saya bertanya-tanya bagaimana membayarnya? Bagaimana jika gagal bayar? Apakah proyek yang dibiayai Negara donor akan diambil seperti di Srilangka. Apakah mata uang Rupiah akan ditukar dengan Yuan sebagaimana terjadi di Zimbabwe karena kegagalannya membayar utang pada Cina?

Hutang Negeri yang menggunung membuat saya tidak lagi berpihak pada Jokowi, saya memutuskan berada di luar pagar. Saya lebih baik menjadi warganegara biasa yang sibuk dengan kehidupannya yang cukup keras.

Hingga hujan melanda Jakarta, terjadi pro-kontra pada gubernur DKI -- Anies Baswedan. Biasa itu, hater dan lover bersaing. Untung ada yang mengingatkan bahwa ketika Jokowi jadi Gubernur DKI mengatakan bahwa banjir dan macet di Jakarta akan lebih mudah diatasi jika jadi Presiden. 

Lalu setelah jadi Presiden, ia berbicara tentang pentingnya reklamasi Teluk Jakarta yang diintegrasikan dengan Proyek Garuda atau Tanggul Laut Raksasa (Giant Sea Wall) dengan dalih melindungi ibukota negara dari naiknya muka air laut akibat pemanasan global. 

Suara-suara kontra diabaikan dan gubernur DKI Ahok juga menyatakan bahwa ia tidak mungkin menghentikan proyek reklamasi karena bisa dituntut oleh para developer yang sudah mengerjakan proyeknya. Namun apa yang terjadi saat Anies naik  jadi gubernur DKI dan menghentikan proyek reklamasi? Tak ada tuntutan sama sekali dari para developer.

Doc: Majalah Ayah
Doc: Majalah Ayah

Akan hal Jokowi, lebih memilih melompat ke helikopter dan survei lokasi ibukota negara yang baru di Kalimantan. Untuk menarik simpati publik, ia bahkan menyatakan proyek pindah ibukota ini tidak memakai APBN.

Sebuah gagasan yang terdengar heroik dan kreatif, tapi sebenarnya berbahaya. Bagaimana mungkin infrstruktur dan fasilitas publik diongkosi dari sumber-sumber privat yang tidak gratis dan membawa serta aneka kepentingan?

SUMBER: 1, 2

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun