Bukankah Negara sudah diamanahkan oleh UUD 1945 pasal 34:
- Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara,
- Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah  dan tidak mampu sesuai dengan martabat manusia,
- Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak,
Ketika  Christine Lagarde  Managing Director IMF mengunjungi Indonesia dan bertemu Presiden Jokowi pada 26 Februari 2018, dia menekankan  fakta bahwa Indonesia ternyata tidak mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkannya sendiri  pada angka 5.2%, apalagi menyentuh target IMF 5.7%, sebab IMF  menganggap Indonesia sebagai Negara terkuat  di Asia Tenggara. Lagarde mengatakan bahwa dia dan Jokowi mendiskusikan pentingnya meraih pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi agar tercipta kesempatan kerja yang lebih banyak.
Vivi Alatas -- Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Program Kemiskinan mengungkapkan upaya  menekan kemiskinan ekstrim harus dilakukan secara komprehensif.  Upaya harusnya  difokuskan pada tiga pilar utama yakni pemerataan kesempatan, penciptaan lapangan kerja yang layak dan pemberian bantuan jika masyarakat miskin terkena guncangan. Pemerataan kesempatan harus diupayakan karena tidak semua masyarakat mendapatkan kesempatan yang sama.Â
Masyarakat di perkotaan jelas memiliki kesempatan yang lebih baik dari masyarakat pedesaan. Oleh karenanya pembangunan yang merata hingga ke wilayah atau pulau terluar dan terjauh menjadi kunci. Menurutnya dana desa bisa didorong untuk menopang hal tersebut.
 Tidak hanya pembangunan juga penciptaan lapangan kerja." Adalah penting bagaimana masyarakat miskin dapat membantu diri sendiri. Membangun ketrampilan di luar pendidikan formal sangat dibutuhkan agar pekerja dapat beradaptasi dengan pertimbangan zaman ." Tegas Vivi Alatas. Karenanya menekankan bahwa bantuan sosial masih sangat dibutuhkan.
Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial Bappenas, Â Pungky Sumadi mengungkapkan upaya menekan rasio ketimpangan dengan menuntaskan masalah kemiskinan ekstrim atau extreme poverty sudah dijalankan mulai tahun ini. Langkah awalnya a.l. dengan terus mengulirkan Program Keluarga Harapan (PKH), Â beras sejahtera, Kartu Indonesia Pintar dan subsidi listrik serta gas. Tetapi saya meragukan program-program yang disebut Pungky Sumadi tersebut mengingat:
Realisasi Program Keluarga Harapan selalu terkendala di lapangan dengan alasan sulit menemukan warga yang benar-benar layak sebagai penerima. Contohnya seperti yang terjadi di Buleleng.
Kartu Indonesia Pintar yang belum merata distribusinya karena tergantung dari kemampuan Pemerintah Daerah.
Di Jakarta, ketika menjelang Lebaran saya melihat bagaimana Kartu Jakarta Pintar didayagunakan  sebagai kartu belanja. Dep store Ramayana bahkan harus membuka line kasir tambahan  bagi pengguna KJP yang lebih dominan dibandingkan jaulur kasir bagi pembelanja non KJP. Hanya Jakarta yang bisa begini. Daerah? Wah saya ingat menjelang pembayaran THR Lebaran lalu, Ibu Risma walikota Surabaya keberatan membayar THR bagi PNS di wilayahnya.Ini Surabaya yang kota maju di Indonesia lho. Bagaimana dengan daerah-daerah lain?
Demikianlah kondisi rakyat miskin Indonesia hingga Lebaran kemarin. Makanya saya heran ketika BPS merilis angka kemiskinan Indonesia yang terendah sejak 1999. Yakni sebesar 9.82% pada Maret 2018. Dengan persentase kemiskinan 9.82% , berarti ada penududk miskin sekitar 25.95 juta. Ini merupakan terendah sejak 1999, demikian pernyataan ketua BPS Suhariyanto. Â Tentunya data ini dengan bungah disebarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Tak sedikit  ekonom yang mempertanyakan statement Menteri Keuangan itu namun protes dari para ekonom itu tampaknya akan menjadi angin lalu, jika saja Susilo Bambang Yudhoyono tidak mengeluarkan statement yang mengatakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 100 juta orang.  Yang dengan segera disanggah oleh juru bicara Sri Mulyani.Â