Sebenarnya rada heran sama jawaban si abang sol sepatu yang masih muda.  Lelaki muda itu berkeras minta harga penawaran yang pastinya segera saya  bantah,
"Bang, kalau saya kasih penawaran nanti kemurahan kan kasihan abangnya yang dah capek-capek kerja. Saya kan pingin sama-sama enak."
Tukang sol sepatu itu menjawab, "Saya takutnya kemahalan nanti  mbak ga mau."
Oh rupanya si abang takut saya  gak jadi perbaiki sepatu ke dia. Karena perlu banget  tuh sepatu diperbaiki  dan pernah bawa ke toko service yang kasih harga kemahalan ( untuk ukuran saya ),  jadilah  membujuk si  abang,
"Coba kasih tahu ongkosnya, nanti kalau kemahalan, saya tawar ya."
Akhirnya dia menyebutkan angka Rp. 45 ribu, wah sama sekali tidak  mahal karena di mall kena charge dua kali lipat. Pastinya saya langsung  menyetujui  biaya perbaikan  segitu.  Sepatu diservice di teras belakang,  saya masuk ke rumah. Sekitar 20 menit kemudian si embak ART masuk ke dalam rumah sembari membawa sepatu yang sudah diperbaiki. Si mbak  menyampaikan,         Â
 "Ini sepatu yang pertama  kali diperbaikinya seharian ini, padahal sudah keliling dari pagi."
Hati langsung terasa ngilu mendengarnya, duh kebayang dia berjalan kaki mengelilingi Jakarta  yang terik dan cukup yakin jika lelaki muda itu belum makan.  Lembaran  uang Rp. 50 ribu saya serahkan ke si embak seraya mengatakan,
"Bilangin gak usah kasih kembalian. Tawarin makan gih."
Si embak segera ke belakang dan sekitar 10 menit kemudian muncul lagi dengan kabar bahwa  abang  sol sepatu minta makanannya dibungkus aja, seraya minta maaf telah merepotkan. Saya dan si embak  membayangkan , mungkin ibunya dan anggota keluarga lain menantinya sembari menahan lapar  di rumah.  Â
 Saya jadi berpikir, ada banyak orang-orang di luar sana yang sudah bekerja  keras banting tulang tiap hari namun mereka tidak mendapatkan hasil yang memadai. Jika demikian bukankah seharusnya Negara bertanggung jawab menanggung kesejahteraan warga yang berada  di garis kemiskinan?