Liburan panjang akhir tahun saya pergunakan untuk mengejar target penulisan, 4 artikel dan sebuah cerita bersambung lima puluh halaman menanti penyelesaian tepat tanggal 31 Desember. Jadilah malam minggu itu saya berada di depan laptop dan menyesatkan diri dalam rimba kata-kata.Biarpun orang lain sibuk nyetatus OTW, OTW.berlibur tahun baru.
Lagi seru-serunya menulis tetiba kedengaran suara bak buk bak buk dan akhirnya pecah suara tangis perempuan dari jalan di depan rumah. Saya segera keluar dan menyaksikan dari teras sepasang remaja alias ABG sedang bertengkar. Si anak lelaki hanya memakai celana pendek sedengkul dan berkaos oblong masih berada di atas motor, sementara si gadis muda yang berperawakan tinggi langsing memakai ceans dan t-shirt sportif, paras cantiknya bersimbah air.mata,
“Main pukul gitu, sakit tauk,” kata si perempuan.
“Ya udah, yuk naik lagi. “ si pria mengajak gadisnya.
“Engga,: si perempuan tersedu-sedu.
Dialog yang terulang beberapa kali tanpa akhir membuat saya akhirnya keluar dari halaman dan mendekati mereka yang jika dilihat dari rupanya paling banter masih duduk di bangku SMA. Saya tegur si pria yang berrparas katrok,
“Kamu ngapain mukulin cewek seperti itu.”
Dia, “Terserah saya mau ngapain aja.”
Saya, “Enak aja terserah, memang kamu hdup di hutan. Berani ngomong gitu di depan Polisi? Dari kompleks sini gampang loh panggil Polisi, “
Memang kompleks rumah saya bersebelahan dengan Kompleks Perumahan Polisi, jadi mobil patrol sering kali melewati Kompleks.
Dia masih sok pemberani dengan mengatakan, “Saya kan juga penghuni kompleks sini, Ibu sebagai penghuni baru mana tahu.”
Hah? Sampai speechless dengarnya. Saya langsung semprot tuh anak laki, “Sembarangan bicara, saya nih dah puluhan tahun tinggal di sini. Kamu anak siapa?”
DIa mengelak, “Saya tinggal di kampung belakang, RT 6 RW 4.”
Saya sudah malas berbicara dengan pembohong yang kasar itu jadi saya beralih ke anak perempuan yang usianya pasti di bawah anak sendiri,
“Sudah, kamu pulang sendiri ya. Ibu panggilkan Gojek. Nanti Ibu bayari.”
Si anak perempuan kelihatannya tertarik dengan tawaran saya tapi lagi-lagi si anak lelaki membujuknya untuk pulang bersama. Rupanya beberapa tetangga memang sudah melihat adegan KDRT juga jadi mereka menghampiri, seorang bapak dan seorang lelaki muda. Mereka juga mulai nimbrung pembicaraan dan menginterogasi alamat si lelaki yang makin terpojok. Saya memotret no motornya.
Sekali lagi saya membujuk si anak perempuan untuk naik Gojek saja namun bujukan si anak lelaki rupanya meluluhkan hatinya. Si anak perempuan mencium tangan saya dan segera naik goncengan. Dari goncengan itu dia masih sempat menengok ke arah saya sembari menggerakkan bibirnya, “Terimakasih Bu.”
Ada rasa khawatir melihat si anak perempuan pulang bersama si anak lelaki itu, berbagai kisah mengenai anak perempuan yang disiksa, diperdaya bahkan hingga kehilangan nyawa melintas. Untungnya pihak keamanan kompleks melintas dengan motornya. Dia segera mengejar motor pasangan itu dan mengawal hingga si anak perempuan tiba di rumah.
Tercatat sebanyak 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2015, berarti sekitar 881 kasus setiap hari dan angka ini meningkat 9% dari tahun sebelumnya. Sementara itu KPAI mencatat terdapat 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2015, dengan 53% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Sisanya, yakni sebanyak 40,7% adalah penelantaran, penganiayaan, eksploitasi untuk seksual, dan bentuk kekerasan lainnya.
Duh, angka yang sangat memprihatinkan. Jadi tiap hari nyaris 1,000 kasus kekerasan pada perempuan terjadinya, sementara kekerasan pada anak tercatat 1,698 pengaduan sepanjang tahun 2015 dimana 53% merupakan kasus kekerasan seksual.
Kasus yang saya lihat pada dua remaja itu kebetulan saya share dalam akun Facebook dan mendapatkan tanggapan yang cukup banyak, antara lain:
Baru pacaran sudah main tangan bisa dipastikan saat menikah sang perempuan bakalan dijadikan sangsak (karung tinju),
Kenapa pihak perempuan mau saja diperlakukan begitu padahal dia cantik sementara si lelaki katro,
Kenapa si lelaki dalam usia yang masih muda sudah main tangan?
Para komentator sepakat biasanya si anak lelaki melihat contoh di rumah. Ayah yang memukuli Ibunya dan Ibu hanya bisa diam.Akhirnya perilaku itu dianggap perilaku normal,
Banyak orangtua yang kurang membimbing pergaulan anaknya. Mereka cenderung tidak perduli. Pernah saya berdiskusi dengan seorang kepala sekolah SMP Negeri di Jakarta. Menurut beliau ada peralihan sikap dari para orangtua murid dalam memberikan perhatian pada anaknya. Semenjak ada program bebas biaya pendidikan, sejak itu orangtua sangat kurang perhatian pada anaknya. Sungguh ironis jika mencoba mengartikan bahwa sebelumnya para orangtua memiliki perhatian yang intense karena merasa sudah mengeluarkan biaya. Setelah biaya ditanggung Negara maka urusan membimbing anak dianggap 100% tanggung jawab Guru?
Menyedihkan sekali.
Sinyalemen yang saya sampaikan ternyata dibenarkan oleh teman-teman saya yang berprofesi sebagai Guru. Para Guru dituntut oleh orangtua murid untuk mengurusi segala hal yang terkait dengan anak mereka. Orangtua lupa bahwa mereka harus membangun kedekatan dengan para anaknya. Memberikan bimbingan budi pekerti dan rohani.
Saya tadinya hanya mencermati maraknya berita kekeresan terhadap perempuan dan anak yang makin sering tampil. Seorang gadis SMP diperkosa 16 teman sebaya dan anehnya ketika ditangkap, orangtua mereka malah sibuk membela. Seorang gadis yang menjaga kehormatannya malah dinodai dan dibunuh dengan cara yang sadis oleh kekasihnya sendiri. Namun mengetahui angkanya yang begitu tinggi sebagaimana yang diinformasikan oleh Komnas Perempuan adalah mengerikan. Sepertinya ada yang salah dalam masyarakat kita. Saya pikir ada beberapa langkah yang bersama-sama bisa kita upayakan:
Menjadi anggota masyarakat yang peduli pada lingkungan sekitarnya.
Setelah kejadian di atas, saya memutuskan akan campur tangan jika terjadi kekerasan pada perempuan dan anak yang dilakukan di ruang publik.
Mengingatkan pada orangtua bahwa anak adalah amanah dan titipan dari Allah yang kelak harus dipertanggung jawabkan. Salah satu cara penyampaian adalah melalui mempererat hubungan orangtua-guru-murid misalnya pada setiap usai liburan semester ada pertemuan tripartit. Pengambilan raport harus dilakukan oleh orang tua tidak boleh diwakilkan.
Dahulu jamannya Ibu saya jadi siswa SMA, di sekolahnya diputarkan film seks education dimana remaja diperkenalkan pada fungsi alat reproduksi. Kata ibu, filmnya sampai pada proses melahirkan yang penuh darah, beberapa temannya sampai pingsan saat melihatnya. Sayangnya saat ini sepertinya hal demikian sudah tidak terjadi lagi.
Memberikan pelatihan pada para perempuan agar bisa mandiri secara ekonomi misalnya dengan merangkul beberapa grup masak, menjahit dan sebagainya. Seperti grup masak teman saya yang memberikan pelatihan memasak aneka makanan yang bisa dijual kelak saat bebas dari tahanan. Dengan mandiri secara ekonomi, dia tidak akan jadi obyek bagi para pengambil manfaat dalam kesempitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H