Tahun 2022, Indonesia berhasil menggalang komitmen pendanaan untuk transisi energi dari negara negara G7. Negara-negara G7 akan memobilisasi pendanaan untuk transisi energi Indonesia senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310,4 triliun.
Sebelumnya, Afrika Selatan juga pernah mendapatkan komitmen pendanaan melalui mekanisme JETP ini. Ironisnya, agenda transisi energi di Indonesia dipenuhi akal-akalan untuk sekedar mempertahankan ketergantungan terhadap energi fosil.
Hal itu nampak dari pernyataan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang berencana memasukkan proyek pembangkit gas fosil dalam skema pendanaan JETP. Ironisnya, pernyataan itu muncul setelah kementerian itu meluncurkan Sekretariat JETP.
Tidak perlu terlebih dahulu menjadi seorang sarjana teknik untuk mengetahui bahwa gas salah satu energi fosil yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab krisis iklim.Â
Menurut data dari Trend Asia, Pada 2019, gas menyumbang 22% dari semua emisi bahan bakar fosil. Jadi rencana Kementerian ESDM yang akan memasukan gas dalam pendanaan JETP jelas merupakan akal-akalan untuk terus mempertahankan ketergantungan negeri ini kepada energi fosil, penyebab krisis iklim.
Sebelumnya, hampir bersamaan dengan pengumuman JETP di KTT G20 Bali, Kementerian ESDM juga mengungkapkan bahwa investasi migas (minyak dan gas) masih menarik investor. Pernyataan yang bertolak belakang dengan semangat transisi energi itu muncul saat side event forum B20 Summit, dua hari sebelum KTT G20 dibuka.
Akal-akalan transisi energi juga muncul pada kebijakan yang mempertahankan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di tengah upaya program pensiun dini pada skema JETP. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik justru masih membuka ruang bagi rencana pembangunan PLTU baru agar dapat dibangun sampai tahun 2030. Setidaknya ada 13.819 Mega Watt (MW) atau hampir 14 Gigawatt (GW) listrik dari PLTU batu bara yang masih bisa dibangun selama 2021-2030.
Akal-akalan transisi energi juga terjadi di sektor keuangan. Taxonomy hijau dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) misalnya, justru masih mengklasifikasikan pertambangan batu bara, yang telah memenuhi kriteria regulasi sebagai kategori kuning (do not have significant harm).
Akal-akalan di Taxonomy hijau itu menyebabkan perbankan-perbankan di Indonesia, termasuk bank BUMN, memilih untuk terus mendanai batu bara daripada energi terbarukan. Laporan riset 350 Indonesia bersama koalisi masyarakat sipil mengungkapkan bahwa Bank Mandiri mengeluarkan USD 3,19 miliar pinjaman kepada 10 perusahaan batubara antara 2015 dan 2021.Â
Sementara BRI, dari 2015-2021, telah memberikan pinjaman senilai USD 122,5 juta kepada tiga perusahaan batu bara. Sedangkan BNI, meminjamkan USD 53,4 juta kepada tiga perusahaan batu bara. Padahal, bank BUMN seharusnya menjadi garda terdepan bagi pendanaan energi terbarukan, ternyata justru masih terus memilih mendanai energi kotor batu bara.
Ironis, di satu sisi pemerintah masih menarik utang luar negeri baru dalam JETP untuk mendanai transisi energi, namun bank-bank BUMN justru terus mendanai batu bara. Dapat dibayangkan betapa sia-sianya agenda transisi energi di Indonesia bila akal-akalan itu terus dipertahankan.
Pertanyaannya kenapa akal-akalan transisi energi di Indonesia terjadi dan cenderung dipertahankan elite ekonomi dan politik di Indonesia? Akal-akalan agar Indonesia terus tergantung pada energi fosil itu terjadi karena tata kelola energi di Indonesia tertutup dan hanya ditentukan segelintir elite.
Ketertutupan pengelolaan energi di Indonesia berakar dari ketertutupan informasi publik.  Nampaknya, ketertutupan informasi publik  itu terus dipertahankan hingga saat ini.Â
Padahal, keterbukaan informasi ini adalah pintu masuk bagi publik untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan terkait transisi energi. Tanpa ada keterbukaan informasi, tidak akan ada keterlibatan publik. Tanpa keterbukaan informasi, agenda transisi energi bukan hanya rawan korupsi, namun juga rentan dibajak para pemain lama di sektor energi fosil yang sekarang berada di lingkaran elite kekuasaan ekonomi-politik, baik di elite pemerintahan maupun oposisi. Nampaknya, pembajakan agenda transisi energi itu sedang terjadi pada program JETP.
Terkait dengan JETP mislanya, salah satu informasi publik yang hingga kini belum dibuka adalah terkait prosentase pembiayaan JETP yang berasal dari utang luar negeri. Seperti sering diungkapkan pemerintah bahwa nilai pendanaan JETP sebesar USD 20 milyar atau setara dengan 300 triliun rupiah, yang berasal dari investasi publik dan swasta dalam bentuk hibah dan pinjaman bunga rendah. Ironisnya, hingga kini, belum pernah dibuka ke publik berapa prosentase pembiayaan proyek yang akan didanai utang luar negeri.
Sebagai pembayar pajak, publik perlu tahu berapa persen proyek JETP yang didanai utang luar negeri, meskipun itu berbunga rendah. Jadi selama kebijakan energi di Indoensia masih tertutup dan tidak melibatkan publik, maka dapat dipastikan bahwa agenda transisi energi pun akan penuh akal-akalan elite untuk mengakomodasi kepentinganya, bukan untuk keselamatan rakyat yang hidupnya terancam bencana krisis iklim. Jika model pengambilan kebijakan energi masih terus seperti ini, publik sebagai pembayar pajak hanya akan menjadi tumbalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H