Ironis, di satu sisi pemerintah masih menarik utang luar negeri baru dalam JETP untuk mendanai transisi energi, namun bank-bank BUMN justru terus mendanai batu bara. Dapat dibayangkan betapa sia-sianya agenda transisi energi di Indonesia bila akal-akalan itu terus dipertahankan.
Pertanyaannya kenapa akal-akalan transisi energi di Indonesia terjadi dan cenderung dipertahankan elite ekonomi dan politik di Indonesia? Akal-akalan agar Indonesia terus tergantung pada energi fosil itu terjadi karena tata kelola energi di Indonesia tertutup dan hanya ditentukan segelintir elite.
Ketertutupan pengelolaan energi di Indonesia berakar dari ketertutupan informasi publik.  Nampaknya, ketertutupan informasi publik  itu terus dipertahankan hingga saat ini.Â
Padahal, keterbukaan informasi ini adalah pintu masuk bagi publik untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan terkait transisi energi. Tanpa ada keterbukaan informasi, tidak akan ada keterlibatan publik. Tanpa keterbukaan informasi, agenda transisi energi bukan hanya rawan korupsi, namun juga rentan dibajak para pemain lama di sektor energi fosil yang sekarang berada di lingkaran elite kekuasaan ekonomi-politik, baik di elite pemerintahan maupun oposisi. Nampaknya, pembajakan agenda transisi energi itu sedang terjadi pada program JETP.
Terkait dengan JETP mislanya, salah satu informasi publik yang hingga kini belum dibuka adalah terkait prosentase pembiayaan JETP yang berasal dari utang luar negeri. Seperti sering diungkapkan pemerintah bahwa nilai pendanaan JETP sebesar USD 20 milyar atau setara dengan 300 triliun rupiah, yang berasal dari investasi publik dan swasta dalam bentuk hibah dan pinjaman bunga rendah. Ironisnya, hingga kini, belum pernah dibuka ke publik berapa prosentase pembiayaan proyek yang akan didanai utang luar negeri.
Sebagai pembayar pajak, publik perlu tahu berapa persen proyek JETP yang didanai utang luar negeri, meskipun itu berbunga rendah. Jadi selama kebijakan energi di Indoensia masih tertutup dan tidak melibatkan publik, maka dapat dipastikan bahwa agenda transisi energi pun akan penuh akal-akalan elite untuk mengakomodasi kepentinganya, bukan untuk keselamatan rakyat yang hidupnya terancam bencana krisis iklim. Jika model pengambilan kebijakan energi masih terus seperti ini, publik sebagai pembayar pajak hanya akan menjadi tumbalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H