Perubahan iklim kini semakin nyata. Laporan lembaga PBB yang fokus dalam penelitian perubahan iklim, pada tahun ini mengungkapkan bahwa perubahan iklim datang lebih cepat daripada yang diperkirakan.Â
Bencana ekologi akan sering terjadi. Korban manusia pun dipastikan akan berjatuhan. Kerugian ekonomi pun akan menggerus pendapatan negara. Segala angka-angka pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi akibat perubahan iklim ini.Â
Net-Zero Emissions (NZE) adalah upaya untuk melawan perubahan iklim dengan cara menyerap emisi gas rumah kaca (GRK). Sehingga tidak ada emisi GRK yang dilepas di atmosfir sehingga tidak menyebabkan perubahan iklim.Â
Persoalannya adalah, bumi memiliki kapasitas untuk menyerap emisi GRK. Terkait dengan itulah salah satu cara untuk melakukan NZE adalah dengan mengurangi sumber emisi GRK nya.
Salah satu sumber emisi GRK itu adalah energi batubara. Untuk mengurangi penggunaan batubara beberapa negara di dunia sudah mulai membangun komitmen baru menghentikan pendanaan ke proyek batubara. Kelompok tujuh negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia atau G7 sepakat menghentikan pendanaan internasional untuk proyek-proyek energi batu bara, pada akhir tahun ini.Â
Kebijakan itu dilakukan demi mengejar target pencegahan perubahan iklim. Batubara adalah salah satu energi fosil yang bukan hanya menyebabkan perubahan iklim, namun juga berbahaya bagi kesehatan warga sekitar. Seperti gayung bersambut.Â
Di depan Majelis Umum PBB, Presiden Xi Jinping mengatakan, China akan menghentikan pendanaan proyek batubara di luar negeri. Bagaimana dengan sektor keuangan di Indonesia? Akankah sektor keuangan di Indonesia juga akan melakukan hal yang sama?
Jawabnya singkat, tidak. Ya, menurut laporan urgewald, sebuah lembaga yang berbasis di Jerman, menunjukkan sebanyak 6 (enam) bank nasional Indonesia tercatat masih memberi pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020, selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020. Keenam bank nasional tersebut antara lain Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN, dan Indonesia Eximbank.
Data itu menunjukan bahwa bank-bank milik BUMN mendominasi pendanaan di proyek-proyek batubara. Sebagai bank milik negara, harusnya bank-bank itu menyelaraskan arah pendaannya dengan kewajiban negara dalam melindungi keselamatan seluruh warga negaranya, termasuk dari ancaman bencana ekologi perubahan iklim.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa sektor perbankan masih terus mengucurkan dananya untuk proyek-proyek yang mempercepat terjadinya perubahan iklim?Â
Keenganan para pengambil kebijakan bank-bank BUMN untuk menghentikan pendanaan terhadap proyek-proyek energi batubara tak bisa dilepaskan dari  karena dominasi mazhab pengetahuan pro pertumbuhan ekonomi.
Mazhab pro pertumbuhan ekonomi ini percaya bahwa kondisi ekonomi yang lebih sejahtera akan menjamin kelestarian alam. Buktinya, menurut mazhab ini, negara-negara yang memiliki tingkat kepedulian tinggi terhadap lingkungan pada umumnya adalah negara-negara maju. Fenomena itu kemudian mendapatkan justifikasi oleh ekonom Gane Grossman dan Alan Krueger pada tahun 1991 melalui publikasi berjudul, 'Environment Impact of a North American Free Trade'.
Padahal madzab itu sudah usang. Madzab yang sekarang berkembang adalah madzab pembangunan berkelanjutan yang menempatkan ekologi dan sosial setara dengan  ekonomi.Â
Madzab ini mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan kerusakan alam dan pada akhirnya berujung pada stagnasi pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Dalam buku yang berjudul, "The Limit to Growth", Meadows (1972) mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa berlangsung selamanya di bumi akibat keterbatasan sumberdaya alam dan juga keterbatasan mengatasi polusi.Â
Menurutnya, konservasi lingkungan diperlukan untuk mengurangi dampak lingkungan sampai batas tertentu, ketika bumi memiliki kapasitas menampung residu akibat aktivitas manusia dalam mengejar pertumbuhan ekonomi.
Kini, bank-bank BUMN seperti sedang berada di persimpangan jalan. Sektor perbankan dihadapkan pada pilihan terus melanjutkan pendanaannya di sektor batu bara atau mulai mengambil peran dalam menyelamatkan bumi. Pilihan mana yang akan diambil para direksi perbankan?
Sebagai warga yang keselamatan hidupnya terancam oleh bencana ekologi akibat perubahan iklim, tentu kita berharap para jajaran direksi perbankan mulai mengambil langkah berani menghentikan pendanaan untuk sektor-sektor yang mempercepat terjadinya perubahan iklim. Tapi apakah jajaran komisaris dan direksi bank BUMN mendengarkan suara warga calon korban bencana ekologi akibat perubahan iklim itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H