Pandemi Covid-19 kini mulai berdampak pada ekonomi. Dampak pertama mulai hilangnya barang-barang seperti hand sanitizer, masker dan bahan makanan di awal-awal pandemi. Kini, dampak itu berkembang pada hilangnya beberapa pekerjaan karena kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).Â
PSBB yang semula untuk mencegah penularan virus Covid-19 kini justru berpotensi menambah jumlah angka kemiskinan. Semakin alam PSBB semakin besar pula angka kemiskinan yang akan bertambah.Â
Pertanyaan selanjutnya tentu saja adalah sampai kapan PSBB ini terus dilakukan? Jawaban normatifnya tentu saja sampai kurva orang-orang yang terjangkit Covid-19 mengalami penurunan.Â
Kalau itu jawabannya berarti tidak ada kepastian sampai kapan PSBB ini akan terus 'membunuh' aktivitas ekonomi rakyat. Padahal data statistik yang dikeluarkan Gugus Tugas penanggulangan Covid-19 sebenarnya telah menunjukan adanya peningkatan jumlah orang yang sembuh jauh melampaui mereka yang meninggal dunia.Â
Jadi sebenarnya, sudah waktunya PSBB secara bertahap sudah harus dilonggarkan untuk pada akhirnya dicabut. Toh, berapa ratus ribu pun bahkan juta orang yang terinfeksi Covid-19, bila pada akhirnya lebih banyak yang sembuh mengapa perlu ditakutkan?
Ketakutan. Itu mungkin satu kata yang menjadi kunci dari lamanya PSBB yang pada akhirnya berdampak pada kegiatan ekonomi dan menambah jumlah warga miskin di Indonesia.Â
Nah, salah satu pihak yang seringkali memelihara rasa takut publik terhadap wabah Covid-19 itu adalah media massa. Entah sampai kapan media massa memelihara ketakutan publik ini? Apakah ketakutan di publik sengaja dipelihara sampai vaksin siap dipasarkan? Jika demikian pertanyaannya kemudian adalah media massa masih tetap menjadi pilar demokrasi ke-4 atau telah menjadi pilar dari industri, dalam hal ini industri vaksin? Entahlah..
Sambil menunggu jawaban yang pasti atas pertanyaan tersebut di atas, saya akan membagikan pengalaman dalam membaca beberapa media massa yang memberitakan persoalan Covid-19 ini.Â
Dari pengalaman saya tersebut, kesimpulan awalnya adalah beberapa media massa begitu semangatnya  memelihara ketakutan publik terhadap Covid-19, hingga rela menginjak-injak kaidah-kaidah jurnalistik. Kaidah-kaidah jurnalistik yang sering diinjak-injak itu adalah membedakan fakta dan opini.
Membedakan fakta dan opini adalah kompetensi dasar seorang jurnalis. Pantang bagi jurnalis profesional mencampur-adukan keduanya, terlebih pada judul berita. Namun, perlombaan untuk memelihara rasa takut publik terhadap Covid 19, kompetensi dasar itu mulai diabaikan.
Di sebuah media online ternama pada pertengahan April 2020 misalnya menuliskan berita dengan judul, 'Masyarakat Mulai Panik, Pemerintah Dinilai Gagap Tangani Corona'. Setelah dibaca hingga tuntas isi berita itu tidak sama sekali menggambarkan kepanikan masyarakat.Â
Tidak ada masyarakat, utamanya dari kelas menengah bawah dan yang rentan terkena dampak ekonomi dari wabah Covid-19 ini yang dijadikan narasumber. Narasumber dalam berita itu adalah seorang pengamat ekonomi. Sayangnya, narasumber dalam berita itu tidak pernah sama sekali mengungkap kepanikan masyarakat.
Lantas, darimana kalimat masyarakat mulai panik seperti yang ada di judul berita? Dalam hal ini jelas jurnalis yang menulis berita itu telah memasukan opini pribadinya.
Di waktu yang hampir bersamaan, media online lainnya yang juga merupakan media arus utama menurunkan berita dengan judul, 'Kasus Corona di China Naik Lagi, Pasar Bakal Panik?' Seperti media online sebelumnya, di dalam isi berita itu sama sekali tidak menggambarkan atau memberikan tanda-tanda pasar bakal panik karena kasus Corona di China yang dikabarkan naik itu. Narasumber yang diwawancari dalam berita itu tidak mengungkapkan itu. Lantas, kenapa di judul ditulis pasar bakal panik?
Hanya berselang beberapa hari setelahnya, media yang sama juga menuliskan berita dengan judul, 'Perbanyak Doa, Pemerintah Pilih Acak yang Bisa Ikut Prakerja'. Sama seperti berita sebelumnya, dalam isi berita juga tidak ada narasumber yang mengatakan atau menganjurkan untuk memperbanyak doa, seperti yang ditulis dalam judul. Lantas, atas dasar apa jurnalis menulis judul agar memperbanyak doa?
Bukan hanya pemberitaan di Bulan April, di bulan sebelumnya, sebuah media online terkemuka misalnya, muncul berita yang berjudul, 'Mencekam, Hampir 200 Tentara Korea Utara Tewas Akibat Serangan Virus Corona'. Meninggal dunianya 200 tentara Korea Utara akibat virus Covid-19 mungkin sebuah fakta, namun bagaimana dengan kata mencekam dalam judul berita itu?
Parahnya, setelah membaca seluruh isi berita dengan judul tersebut di atas tidak ada satupun narasumber yang relevan mengungkapkan suasana mencekam dari kejadian meninggal dunianya 200 tentara Korea Utara itu. Jadi, kata mencekam dalam judul berita itu menurut siapa?
Selama media-media massa masih memelihara ketakutan publik terhadap Covid-19, selama itu pula negeri ini tidak akan bisa keluar dari pandemi yang berujung pada peningkatan jumlah warga miskin itu.Â
Untuk itu, agar kita bisa segera hidup normal, langkah pertama dan utamanya adalah mulai cerdas membaca berita di media massa. Kecerdasan itu akan membawa kita untuk bersikap kritis terhadap media massa yang terus memelihara rasa takut publik. Kita bisa melewati pandemi ini bila media massa berhenti memelihara ketakutan publik dan kembali menjadi pilar demokrasi ke-4, bukan pilar industri farmasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H