"Saya berdiri di sini karena rakyat sedang sakit. Ibu Pertiwi sedang diperkosa. Kekayaan kita diambil terus," kata seorang capres dalam orasinya pada kampanye di Jakarta (7/4).
Entah mengapa ketika membaca dan melihat orasi capres yang mengatakan bahwa ibu pertiwi sedang diperkosa itu, ingatan saya kembali di tahun 1997-1998. Ya, tahun itu adalah tahun-tahun terakhir dari kekuasaan otoritarian Orde Baru. Kekuasaan yang korup itu pun akhirnya tersungkur oleh gerakan protes di Mei 1998.Â
Orde Baru sendiri sebagai sebuah rejim, didirikan dengan darah dan air mata rakyatnya. Ratusan ribu hingga jutaan orang dipenjara dan dibunuh tanpa proses pengadilan atas tuduhan PKI. Rejim yang berdarah-darah sejak lahir itu pun akhirnya tumbang.
Di tahun 1997-1998 itu pula terjadi pengejaran terhadap aktivis-aktivis pro-demokrasi. Sebagian dari mereka ada yang dijebloskan ke penjara secara legal. Namun ada pula yang diculik dan ditahan tanpa proses pengadilan. Bahkan hingga kini masih ada 13 orang aktivis pro demokrasi yang hilang. Dimana mereka berada? Apakah masih hidup atau sudah mati? Tidak jelas.Â
Teror terhadap aktivis di tahun-tahun terakhir kekuasaan Orde Baru itu memberikan pesan yang jelas dan tegas, "Jangan main-main terhadap kekuasaan, kalau tidak mau dipenjara atau diculik."
Ketakutan itu terus dikelola hingga merasuk ke alam bawah sadar masyarakat. Saya ingat almarhum bapak saya pernah berpesan saat saya pulang kampung di Madiun karena liburan kuliah. "Di Surabaya, tugasmu adalah sekolah, jangan ikut-ikutan protes terhadap pemerintah," kata bapak saya. Pesan bapak saya itu terlontar setelah terjadi kerusuhan 27 Juli 1996. Saat itu aktivis-aktivis mulai diburu rejim otoritarian. Untuk membenarkan perburuannya itu label komunis pun disematkan.
Lantas apa kaitannya ibu pertiwi yang sedang diperkosa dengan penculikan aktivis demokrasi di penghujung kekuasaan rejim korup Orde Baru? Pemerkosaan ibu pertiwi, jika indikatornya seperti yang dikatakan capres itu bahwa kekayaan alam diambil terus, terjadi sejak Orde Baru berkuasa. Setelah Soekarno berhasil dijatuhkan, muncullah Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 1/1967. Apa yang terjadi setelah UU PMA itu diberlakukan?
Tiga bulan sesudah pemberlakuan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 1/1967, Freeport Sulphur Incorporated menandatangani sebuah kontrak karya untuk mengeksplorasi dan menambah cadangan emas dan tembaga di Irian Jaya, sekarang Papua. Sejak pemberlakuannya, UU itulah kekayaan alam dikuras dan yang tersisa bagi rakyat hanyalah kemiskinan dan kerusakan alam.Â
UU PMA itu menjadi payung hukum bagi kontrak karya di sektor pertambangan. Kontrak karya dianggap merugikan negara karena adanya sistem konsesi, bagi hasil yang tak imbang, dan keringanan pajak untuk para investor. Di bidang kehutanan, hutan dibabat habis melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH).Â
Hasil pembabatan hutan itu adalah kekayaan bagi segelintir orang. Sementara bagi masyarakat sekitar hutan hanya disisakan kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup. Akibatnya sudah dapat ditebak, kesenjangan ekonomi melebar serta berkembang konglomerat, monopoli pemangsa, dan korupsi. Sisa-sisa kebijakan Orde Baru itu hingga kini masih meninggalkan persoalan di tanah air.
Kenapa ibu pertiwi bisa diperkosa seperti itu? Ya, karena setiap upaya yang hendak membebaskan ibu pertiwi dari pemerkosaan itu selalu berhadapan dengan kekuasaan yang korup dan kejam rejim Orde Baru. Para aktivis diculik di penghujung kekuasaan korup Orde Baru itu adalah sebagian orang yang ingin membebaskan ibu pertiwi dari pemerkosaan.Â
Sebagian para aktivis, yang ingin membebaskan ibu pertiwi dari pemerkosaan, itu masih hilang hingga kini. Sementara para penculiknya justru bebas melenggang. Bukan tidak mungkin sebagaian para penculik itu kini sedang berjoget saat anak dan orang tua korban penculikan menangis pilu karena kehilangan orang yang dicintainya. Para anak muda yang diculik dan dihilangkan itu adalah manusia, bukan sekedar angka yang tak berjiwa.
Selama para penculik itu masih bebas melenggang, sulit rasanya menjamin ibu pertiwi tidak lagi diperkosa. Jika ingin menyelamatkan Ibu pertiwi dari pemerkosaan, caranya ya jangan pilih penculik menjadi pejabat publik, mulai dari pejabat publik di tingkat RT hingga lembaga kepresidenan. Mungkinkah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H