Emak Menor sedang berendam dalam air hangat yang telah dikucurinya cairan pemutih tekstil. Kulitnya terasa agak nyeri tergigit, tapi ditahannya rasa itu. Demi kulit putih dan mulus, tak apalah menderita sedikit, pikirnya.
Untuk mencapai hasil yang baik, tentu diperlukan waktu berendam yang cukup lama. Untuk merintang waktu, sembari merendam tubuh, Emak Menor membaca buku milik anaknya yang rupanya tertinggal di kamar mandi. Buku tentang mitos dan legenda. Cerita tentang para dewa dan bidadari.
Lembar demi lembar, buku itu dibacanya. Termasuk bab tentang Narcissus, anak dari Dewa Sungai Cephissus dan bidadari Liriope. Narcissus terkenal karena keelokan parasnya, dan dia sangat bangga karena itu. Sedemikian bangganya sehingga dia senantiasa meremehkan orang- orang yang mencintainya.
Melihat perilaku Narcissus, Nemesis yang merupakan spirit pembalasan Ilahi terhadap mereka- mereka yang menyerah pada keangkuhan, mengajak Narcissus ke sebuah kolam, dimana pantulan air di kolam itu menunjukkan bayangan paras rupanya sendiri.
Narcissus jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Tak bisa meninggalkan bayangannya sendiri itu, Narcissus kemudian tenggelam di kolam tersebut. Narcissus merupakan akar kata narcissism, sebuah obsesi pada diri sendiri dan penampilan fisik seseorang.
Hmmm... pikir Emak Menor sambil meletakkan buku itu. Kisah tentang Narcissus yang sangat terkenal itu tentu saja sudah pernah dibacanya. Tapi, pikirnya, memang apa sih salahnya mengagumi diri sendiri?
Emak Menor mengangkat tangannya, mengamati jemarinya yang dihiasi sebentuk cincin emas bermata berlian. Diraihnya sebuah kaca untuk mengamati mukanya, yang tadi telah dia cuci dengan detergen.
Seperti aku ini, pikirnya, apa salahnya jika aku mengagumi diri sendiri? Aku cantik, bukan? Para lelaki menatapku dengan sinar mata liar dan kehausan. Dan apa yang salah dengan semua itu? Lebih baik narsis daripada lusuh dan minder.
Emak Menor memejamkan matanya.
Angannya melayang. Berkelebatan dalam pikirannya sejumlah lelaki yang bertekuk lutut pada dirinya. Memuja- muja dan menghamba, sekedar untuk mendapatkan sekilas senyum dan sapa darinya. Tak sadar senyum dan sapa itu berpoles kepalsuan.
Emak Menor sudah terlatih untuk itu semua. Tak perduli seperti apa lelaki yang memujanya itu, demi memiliki banyak penggemar, Emak Menor akan menampilkan kemanisan reaksi dan tutur kata. Tak perduli dalam hatinya dia merendahkan, di muka mereka dia akan bersikap hangat.