Hari itu sangat cerah. Matahari berdiri dengan tegak di atas langit. Burung -- burung beterbangan, mencari secuil berkah di bumi. Dan beberapa emprit bernyanyi di atas dahan pohon jambu.
Tampak dua orang muda duduk di kebun kecil. Yang satu pemuda bertubuh sedang, dan yang satu nona muda berparas cantik. Mereka dikelilingi oleh berbagai tumbuhan yang rimbun dan segar.
"Dua tahun lalu begitu istimewa." Kata si nona.
"Maksudmu?"
"Dua tahun lalu.. itu saat pertama kali aku menemukan pohon itu, dan tak kusangka dia membawaku seperti sekarang." Katanya sambil menyapu pandangan ke pepohonan rimbun itu.
"Oh, aku ingat. Waktu itu kau kalah main petak umpet denganku, kan?" goda si pemuda.
"Aku tak kalah. Aku cuma membiarkan kau menang."
"Ah, sama saja. Jangan cari alasan, kalau kalah ya bilang kalah saja!"
Si nona meninju perut si pemuda, tapi si pemuda berhasil menangkisnya.
"Tapi meski kalah, kau hebat juga." Kata si pemuda.
"Kenapa? Karena memberimu sebuah kemenangan?"
"Enak saja! Kemenangan itu bukan karena kau mengalah, tapi karena aku memang ditakdir jadi pemenang!"
"Terserahlah."
"Maksudku, kau hebat bisa menyembuhkan pohon itu dan tumbuhan lainnya. Waktu kau pertama bilang pohon itu hidup setelah kau sentuh, aku tak percaya. Tapi setelah melihat sendiri, ternyata memang benar kau bisa melakukannya."
"Dan kau seharusnya bilang sesuatu." kata si nona.
"Bilang apa?"
"Entahlah, mungkin semacam terimakasih."
"Hah?! Mestinya kau yang bilang begitu! Kau kan yang memaksaku pergi kesini setiap sore dan merawat tanaman itu?"
"Tidak, kau yang harus berterimakasih kepadaku. Karena kalau kau tak kuajak kemari, kau tak bisa menanam kacang -- kacang itu disini, kan?" kata si nona sambil menunjuk deretan tanaman kacang yang tersebar di pinggiran kebun.
"Yah.. Itu benar. Tapi aku tidak minta bibit kacang kepadamu, kan? Aku memperolehnya sendiri!"
Keduanya menjadi geram lalu secara bersamaan saling membuang muka. Hari masih cerah dan makin banyak orang datang ke kebun itu. Ada ibu -- ibu memetik daun pepaya untuk dijadikan sayur. Ada bapak -- bapak mengunduh beberapa buah mangga. Tapi yang lebih banyak adalah anak -- anak kecil yang bermain dan berkejar -- kejaran, bersembunyi di balik pohon, bahkan ada yang memanjat dan bersender di rantingnya.
"Tapi kupikir ada benarnya juga. Seharusnya yang lebih pantas mendapat ucapan terimakasih adalah kamu. Karena tanpa kejadian waktu itu, tempat ini tak mungkin jadi hidup seperti sekarang." Kata si pemuda.
"Oh, akhirnya kau melunak juga." kata si gadis.
"Tidak, aku hanya membiarkanmu menang."
Lalu kedua remaja itu berjalan -- jalan berkeliling di sekitar kebun itu. Mereka melihat pepohonan satu per satu. Kalau ada yang tampak layu, mereka akan menyiraminya. Tapi kalau ada tumbuhan yang akan mati, si nona menyentuh tanaman itu agar hidup lagi. Jadi tempat itu selalu sejuk dan asri.
Sampai akhirnya, di suatu sore yang kelam, desa mereka diserang oleh kerajaan lain. Banyak warga mengungsi. Mereka pindah ke tempat lain. Termasuk si pemuda dan si nona juga kena imbasnya.
Namun saat si pemuda menjemput si nona untuk pindah, ternyata si nona tak ada di rumahnya. Si pemuda mencari ke kebun itu, tapi si nona tidak ketemu juga. Malah, kebun itu kini telah hancur dipenuhi asap.
Mereka merusak kebun itu. Pohon -- pohon seperti jambu, mangga dan pepaya mereka tebang. Termasuk kacang -- kacang yang menjalar, mereka tebas lalu membakar tempat itu hingga jadi arang.
Melihat itu, si pemuda pun menyelamatkan diri. Ia lari ke segala arah. Meninggalkan desanya yang tengah diserang sangatlah terasa berat. Apalagi melihat kebun yang dirawatnya kini rata dengan tanah. Namun yang lebih membuat si pemuda sedih adalah, ia tak bisa bertemu dengan si nona lagi, dan ia juga tak tahu kemana si nona pergi.
Tamat
Cerita sebelumnya:
Nona Kecil dan Sebatang Pohon Tus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H