"Kenapa? Karena memberimu sebuah kemenangan?"
"Enak saja! Kemenangan itu bukan karena kau mengalah, tapi karena aku memang ditakdir jadi pemenang!"
"Terserahlah."
"Maksudku, kau hebat bisa menyembuhkan pohon itu dan tumbuhan lainnya. Waktu kau pertama bilang pohon itu hidup setelah kau sentuh, aku tak percaya. Tapi setelah melihat sendiri, ternyata memang benar kau bisa melakukannya."
"Dan kau seharusnya bilang sesuatu." kata si nona.
"Bilang apa?"
"Entahlah, mungkin semacam terimakasih."
"Hah?! Mestinya kau yang bilang begitu! Kau kan yang memaksaku pergi kesini setiap sore dan merawat tanaman itu?"
"Tidak, kau yang harus berterimakasih kepadaku. Karena kalau kau tak kuajak kemari, kau tak bisa menanam kacang -- kacang itu disini, kan?" kata si nona sambil menunjuk deretan tanaman kacang yang tersebar di pinggiran kebun.
"Yah.. Itu benar. Tapi aku tidak minta bibit kacang kepadamu, kan? Aku memperolehnya sendiri!"
Keduanya menjadi geram lalu secara bersamaan saling membuang muka. Hari masih cerah dan makin banyak orang datang ke kebun itu. Ada ibu -- ibu memetik daun pepaya untuk dijadikan sayur. Ada bapak -- bapak mengunduh beberapa buah mangga. Tapi yang lebih banyak adalah anak -- anak kecil yang bermain dan berkejar -- kejaran, bersembunyi di balik pohon, bahkan ada yang memanjat dan bersender di rantingnya.