Mohon tunggu...
Deni I. Dahlan
Deni I. Dahlan Mohon Tunggu... Penulis - WNI

Warga Negara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Peri Kunang-kunang

6 April 2021   05:41 Diperbarui: 10 April 2021   22:15 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Carilah air terjun itu!" Kata orang gunung. Ia masih kesakitan namun berusaha mengusir gerombolan lintah itu dengan obornya.

Si turis dan si pemandu berlari ke tengah pemakaman. Mereka berlari di jalan setapak, menembus ribuan kunang-kunang yang terus berkelap-kelip.
Semakin berlari, semakin banyak kunang berdatangan. Sampai akhirnya kuburan gelap itu sudah tak tampak, diganti oleh dunia penuh cahaya kekuningan yang berpendar tiada henti.

Dan setelah dilihat dari dekat, bentuk mereka seperti manusia kecil yang bersayap. Sepintas mirip peri.

"Selamat datang di dunia kami." Kata salah satu peri, menyambut si turis dan si pemandu.

"Ini dimana?" Tanya si turis.

"Kalian berada di dunia peri kunang-kunang."

Si turis dan si pemandu tercengang. Mereka melihat sekitar. Tampak banyak rumput dan ilalang yang tumbuh subur. Di atasnya terdapat ribuan kunang-kunang bersliweran. Mereka mencari tanda-tanda air terjun, tapi tak ada.
 
"Hei, kenapa kita malah kesini?" Tanya si turis.

"Entahlah, tadi kita lari begitu saja. Tahu-tahu sudah disini." Kata si pemandu.

"Coba kau baca bait kedua puisi itu. Apa ada hubungannya dengan tempat ini?"

"Tidak. Disini tertulis "Kepak elang kan terdengar", tapi disini tak ada elang."

"Celaka. Sepertinya kita tersesat."

Sebelum si pemandu dan si turis keluar dari tempat itu, peri itu menghampiri mereka dan terbang berputar-putar di atas kepala mereka.

"Aku tahu apa yang kalian cari. Kalian mencari air terjun itu, kan?"

"Benar. Kau tahu tempatnya?" Kata si pemandu.

"Aku tidak tahu. Tapi aku bisa mengantar kalian selangkah lebih dekat."

"Bagus. Kalau begitu tolong antar kami kesana."

"Boleh saja. Tapi sebelum itu, aku mau minta tolong kepada kalian."

"Minta tolong apa?"

"Kami dulu seperti kalian."

"Maksudmu?"

"Sebelum menjadi kunang-kunang, kami adalah manusia seperti kalian. Lalu kami datang ke sini dan berperang satu sama lain untuk mendapatkan air terjun itu. Tapi sebelum kami berhasil mendapatkannya, kami sudah mati berperang dan dimakamkan disini."

"Jadi benar kalian adalah kuku dari orang mati?"

"Kalian boleh menyebutnya begitu."

Lalu si peri itu melihat ke arah ribuan kunang-kunang di sekitarnya.

"Lihatlah kunang-kunang itu."

"Kunang-kunang yang menyala terus itu.. dulunya orang yang gagal mendapatkan air terjun. Tapi karena mereka menerima kegagalan itu, jiwanya bercahaya dan terus berpendar."

Si peri menoleh ke arah kunang-kunang di sebelahnya.

"Kalau yang sebentar menyala, sebentar redup, itu dulunya juga gagal meraih keinginannya. Mereka menerima kegagalan itu, tapi masih belum puas lalu mencari keinginan yang lain."

Lalu si turis dan si pemandu melihat kunang-kunang di sebelahnya.

"Kalau yang redup itu?"

"Mereka adalah yang gagal mendapatkan air itu, dan tidak bisa menerima kegagalan. Mereka juga tak suka orang lain mendapatkan air itu. Mereka inilah yang paling tidak tenang."

Si peri kemudian memancarkan cahaya lebih terang.

"Tugas kalian berdua adalah menyelamatkan kunang-kunang yang redup. Selamatkanlah mereka agar mereka bisa hidup tenang. Bebaskan jiwa mereka."

"Baiklah, bagaimana caranya?"

"Carilah buah peach di dalam hutan. Setelah kalian mendapatkannya, aku akan mengantar kalian ke tempat air terjun itu."

"Tapi ngomong-ngomong.. Buah peach itu seperti apa?" Tanya si turis.

Si peri hanya mengedipkan kedua mata kecilnya.

"Sudahlah. Kita cari saja. Nanti kau juga tahu." Kata si pemandu.

Lalu si pemandu dan si turis berjalan lagi. Mereka kini mencari buah persik, agar kunang-kunang yang redup itu bisa memancarkan cahaya dengan lebih terang.

Tamat

Cerita sebelumnya:
Kuburan Di Puncak Gunung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun