Dengan demikian kemenangan PDI Perjuangan tiga kali berturut-turut tidak bisa dibilang hanya karena faktor Joko Widodo sebagai Capres usungan PDI Perjuangan.
Memang di Pemilu 2024 perolehan suara PDI Perjuangan tergerus dibandingkan Pemilu 2019, tetapi PDI Perjuangan tetap berhasil jadi pemenang  disaat Joko Widodo tidak mendukung, bahkan sebagai musuh PDI Perjuangan.
Ini pembelajaran berharga yang layak dijadikan bahan analisa terhadap variabel cocktail effect terhadap kemenangan atau perolehan suara partai politik.
Sebagai bahan pertimbangan, di Pemilu 2024 nampak jelas Joko Widodo ingin mengembosi perolehan suara PDI Perjuangan, tetapi nyatanya PDI Perjuangan tetap berhasil menang pemilu.
Di Pemilu 2024 PSI identik dengan Joko Widodo, dan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep adalah anak sulung Joko Widodo tetapi kenyataannya tidak lolos ke parlemen karena tidak melewati ambang batas parlemen.
Ironisnya lagi, Partai Gerindra hanya mampu duduk di posisi ketiga pemenang pemilu 2024, padahala calon presiden dukungan Joko Widodo adalah Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum Partai Gerindra.
Malah yang duduk di posisi kedua dibawah PDI Perjuangan adalah Partai Golkar, bukan Gerindra.
Fenomena ini menimbulkan tanda tanya besar, sejauh mana sebenarnya pengaruh Joko Widodo terhadap pemenangan Pemilu bagi partai politik.
Jika Joko Widodo sangat berpengaruh terhadap besarnya perolehan suara partai di Pileg, logikanya Partai Gerindra semestinya layak sebagai pemenang Pemilu 2024.
Fakta ini tidak serta merta bisa dibandingkan dengan perolehan suara Prabowo Subianto di Pilpres, selain terbukti pengaruh Joko Widodo terhadap kemampuan PDI Perjuangan hattrick, pelaksanaan Pilpres 2024 tidak layak dijadikan sebagai variabel ukuran karena Pilpres kali ini dianggap tidak ideal, tidak berjalan dengan perlakuan yang baik, bahkan ditenggarai penun dengan intrik abuse power.
Oleh karena itu perolehan suara Pilpres tidak layak dijadikan bahan perbandingan dengan perolehan suara di Pilpres.