Seogianya, sebagai partai kader, maka partai politik akan mengharapkan kader pilihan, atau kader terbaik berhasil di lembaga legislatif dan eksekutif. Itulah arti penting dilakukan proses kaderisasi di internal partai.
Tetapi kader militan, maupun kader terbaik partai tidak memiliki kartu garansi otomatis terpilih lewat pemilu, terutama dalam pemilu dengan sistem proporsional terbuka yang identik dengan liberal, bagaikan pasar bebas (Laissez Faire).
Laissez Faire, frasa bahasa Prancis berarti "biarkan terjadi" atau "biarkan berbuat" tanpa ada intervensi.
Dalam paradigma Laissez Faire lewat mekanisme pasar bebas diyakini akan terjadi sesuatu yang adil, yaitu lewat tangan tak kentara (invisible hand).
Dalam sistem pemilu proporsional terbuka jelas tidak ada jaminan terpilih pigur yang diutamakan partai politik.
Oleh karena itu jika partai politik ingin mengutamakan kader pilihannya terpilih di lembaga legislatif maupun eksekutif memilih sistem pemilu proporsional tertutup merupakan salah satu alternatif.
Bukan rahasia umum, ironisnya sistem pemilu proporsional tertutup menimbulkan marak praktek money politik. Tidak cukup mengandalkan popularitas dan kebijakan partai.
Viktor Laiskodat, sebagai petinggi partai Nasdem dan mantan Gubernur NTT sudah cukup populer, bahkan pernah sebagai penguasa daerah tersebut. Â Logis jika semestinya dia memiliki elektabilitas atau perolehan suara sangat besar dan tertinggi di daerahnya.
Tapi kenyataan membuktikan, Pileg 2024 faktor keberuntungan tidak berpihak kepada dirinya, dan harapan Partai Nasdem juga tidak terwujud.
Ini pembelajaran berarti dan layak sebagai bahan perenungan bagi Partai Kader yang memiliki orientasi menjadikan kader pilihan unggul dan memenangkan kontestasi.Â
Pemilu, khususnya Pileg bukan melulu berorientasi elektoral atau perolehan suara, tetapi bermuatan kepentingan partai meloloskan kader-kader terbaiknya sebagai manifestasi partai kader, dan menjadikan partai sebagai "Kawah Chandradimuka" melahirkan bayi sakti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.