Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Residu Demokrasi: Caleg Peraih Suara Terbanyak Mundur

19 Maret 2024   00:27 Diperbarui: 19 Maret 2024   00:33 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Tribun-medan.Com

Menarik, masyarakat Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) gelar aksi bakar lilin, Minggu(17/3/2024), sebagai reaksi protes pengunduran diri  Ratu Ngadu Bonu Wulla, Caleg DPR RI Partai Nasdem.

Aliansi Masyarakat Sumba Pejuang Demokrasi, melakukan aksi bakar lilin bertujuan meminta Ratu Wulla, Caleg memperoleh suara terbesar, sebanyak 73.000, agar membatalkan surat pengunduran dirinya sebagai pemenang duduk di DPR RI.

Masyarakat menunjukkan sikap tidak terima terhadap sikap Ratu Wulla, dan mengaku sangat menyayangi Ratu Wulla sebagai pigur mewakili masyarakat Sumba Barat Daya di DPR RI.

Ratu Wulla diakui sebagai anggota legislatif sangat memperhatikan rakyat kecil selama menjabat anggota DPR RI periode 2019-2024.

Reaksi masyarakat ini patut diapresiasi, merupakan fenomena baru layak dijadikan bahan refleksi mempertimbangkan arti dan peran masyarakat dalam pemilu, dan menilai perilaku partai politik dalam sistem proporsional terbuka saat ini.

Secara normatif, dalam atmosfir demokrasi rakyat lewat pemilu memilih calon anggota legislatif untuk mewakili rakyat di parlemen, representasi rakyat dan mengartikulasikan kehendak rakyat.

Itu idealnya, tapi dalam aplikasinya atau penerapannya kerap terjadi demokrasi prosedural, hanya klaim mewakili keinginan rakyat, kedudukan di kekuasaan dianggap sudah sah jika sistem demokrasi atau pemilihan sudah dilaksanakan. Tidak persoalan apapun cara dan bentuknya.

Itulah penampilan politik (political performance) yang dipertontonkan umumnya partai politik dewasa ini.

Sistem pemilu proporsional terbuka, idealnya dilakukan untuk memilih langsung pigur calon legislatif, bukan memilih partai dan berdasarkan nomor urut. 

Sistem itu sangat liberal atau bebas, sehingga siapapun memperoleh suara terbanyak berhak melenggang ke parlemen.

Ratu Wulla, lewat pemilu sistem proporsional terbuka, berhasil memperoleh suara terbanyak di internal partainya. Maka dia berhak mewakili partainya dan konstituennya duduk sebagai anggota DPR RI.

Namun, dengan pengunduran diri, Ratu Wulla meniadakan arti penting pilihan rakyat, lebih utamakan memuluskan jalan rekan se-partai, Viktor Laiskodat sebagai anggota DPR RI.

Viktor Bungtilu Laiskodat, Mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur, memperoleh 65.357 suara, kalah terpaut 10.972 suara dibandingkan Ratu Wulla memperoleh 76.331 suara di daerah pemilihan (Dapil) 2 NTT.

Pengunduran diri Ratu Wulla mengagetkan banyak kalangan, dan mengecewakan masyarakat NTT, khususnya masyarakat Sumba Barat Daya.

Selain menimbulkan kontroversi, pengunduran diri Ratu Wulla ditenggarai bermuatan kepentingan personal, dan hanya sebagai alibi memuluskan langkah Viktor Laiskodat.

Selain untuk kepentingan pribadi Viktor Laiskodat, tentu tidak bisa diabaikan ada kemungkinan kepentingan tersembunyi elit Partai Nasdem.

Fenomena ini sebagai indikator Partai Politik, khususnya Partai Nasdem dalam hal ini, sebenarnya tidak siap dengan sistem pemilu proporsional terbuka.

Sistem proporsional terbuka secara penampilan demokrasi, terlihat sangat demokratis, tetapi tak ubahnya bagaikan pisau bermata dua. Indah terlihat sangat demokratis tetapi disisi lain bisa membunuh kader favorit dukungan partai politik, termasuk tokoh penting partai politik.

Oleh karena itu, untuk menyelamatkan tokoh penting partai, terutama "anak emas" partai adakalanya dilakukan dengan berbagai cara. Secara halus lewat cara negoisiasi meminta seseorang mundur dengan memberi kompensasi.

Cara demikian tentu mereduksi sistem pemilu proporsional terbuka, dan merupakan residu atau ampas menimbulkan kontaminasi demokrasi yang disepakati mempergunakan sistem proporsional terbuka.

Suka tidak suka, sistem proporsional terbuka menimbulkan tegangan tinggi kompetisi internal partai, saling menjatuhkan bagi sesama kader partai, bahkan adakalanya menyebabkan petinggi partai kalah telak di Pileg.

Seogianya, sebagai partai kader, maka partai politik akan mengharapkan kader pilihan, atau kader terbaik berhasil di lembaga legislatif dan eksekutif. Itulah arti penting dilakukan proses kaderisasi di internal partai.

Tetapi kader militan, maupun kader terbaik partai tidak memiliki kartu garansi otomatis terpilih lewat pemilu, terutama dalam pemilu dengan sistem proporsional terbuka yang identik dengan liberal, bagaikan pasar bebas (Laissez Faire).

Laissez Faire, frasa bahasa Prancis berarti "biarkan terjadi" atau "biarkan berbuat" tanpa ada intervensi.

Dalam paradigma Laissez Faire lewat mekanisme pasar bebas diyakini akan terjadi sesuatu yang adil, yaitu lewat tangan tak kentara (invisible hand).

Dalam sistem pemilu proporsional terbuka jelas tidak ada jaminan terpilih pigur yang diutamakan partai politik.

Oleh karena itu jika partai politik ingin mengutamakan kader pilihannya terpilih di lembaga legislatif maupun eksekutif memilih sistem pemilu proporsional tertutup merupakan salah satu alternatif.

Bukan rahasia umum, ironisnya sistem pemilu proporsional tertutup menimbulkan marak praktek money politik. Tidak cukup mengandalkan popularitas dan kebijakan partai.

Viktor Laiskodat, sebagai petinggi partai Nasdem dan mantan Gubernur NTT sudah cukup populer, bahkan pernah sebagai penguasa daerah tersebut.  Logis jika semestinya dia memiliki elektabilitas atau perolehan suara sangat besar dan tertinggi di daerahnya.

Tapi kenyataan membuktikan, Pileg 2024 faktor keberuntungan tidak berpihak kepada dirinya, dan harapan Partai Nasdem juga tidak terwujud.

Ini pembelajaran berarti dan layak sebagai bahan perenungan bagi Partai Kader yang memiliki orientasi menjadikan kader pilihan unggul dan memenangkan kontestasi. 

Pemilu, khususnya Pileg bukan melulu berorientasi elektoral atau perolehan suara, tetapi bermuatan kepentingan partai meloloskan kader-kader terbaiknya sebagai manifestasi partai kader, dan menjadikan partai sebagai "Kawah Chandradimuka" melahirkan bayi sakti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mundurnya Ratu Wulla, memuluskan jalan Viktor Laiskodat ke Senayan memang mencederai demokrasi sistem proporsional terbuka, khususnya mengecewakan masyarakat sebagai konstituen, tetapi disamping itu tidak bisa serta merta mengabaikan begitu saja missi khusus partai politik sebagai partai kader.

Ironis dan menimbulkan kontroversi, tetapi itulah secuil residu tersisa dari sistem demokrasi atau pemilu proporsional terbuka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun