Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kuota Perempuan di Pemilu, Berkah atau Beban Bagi Partai Politik?

27 Februari 2023   16:57 Diperbarui: 28 Februari 2023   10:20 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pemimpin wanita (Matej Kastelic/Shutterstock.com)

"Perserikatan Bangsa-Bangsa merekomendasikan target criticall mass 30 persen di kepemimpinan politik dan parlemen untuk perempuan, dengan asumsi angka 30 % tersebut merupakan representasi minimal agar perempuan mampu mempengaruhi kebijakan politik".

Sampai hari ini target tersebut belum pernah tercapai di Indonesia, padahal affirmative action, atau kebijakan memberikan peluang yang luas bagi perempuan untuk berperan aktif di arena politik, khususnya untuk ikut kontestasi pemilihan umum sudah termuat secara konstitusional. 

Dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2003 Tentang Pemilu, jelas diharuskan adanya keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik, dan dalam penyusunan daftar calon anggota legislatif (Caleg) bagi semua partai politik peserta pemilu.

Dengan Zypper System, setiap 3 orang caleg diharuskan minimal ada 1 orang caleg perempuan. 

Zypper System ini ternyata efektif untuk meningkatkan jumlah perempuan yang aktif sebagai politisi, dan mampu meningkatkan jumlah perempuan yang berhasil duduk di kursi parlemen, khususnya di DPR RI jumlah perempuan bertambah dari periode ke periode pemilu.

Pemilu terakhir tahun 2019, dengan adanya Zypper System, perempuan yang duduk di DPR RI sebesar 20,8 %, sedangkan pada Pemilu 1999 tanpa ada Zypper System perempuan sebagai anggota DPR RI hanya sebesar 9,0 %.

Tetapi perolehan tersebut belum mencapai target 30 % sebagaimana sistem kuota keterwakilan perempuan yang diharapkan, dan ditetapkan berdasarkan undang-undang.

Sumber Foto : Antara Foto/Nova Wahyudi
Sumber Foto : Antara Foto/Nova Wahyudi

Fenomena ini menunjukan bahwa di satu sisi perjuangan merealisasikan perjuangan kesetaraan gender (gender equity) di sektor politik sudah terwujud, dan diskursus tentang pengarusutamaan gender (gender mainstream) tidak jadi isu utama dan krusial lagi. Karena secara konstitusional perempuan sudah memiliki hak istimewa untuk berkiprah di arena politik nasional.

Persoalan menarik yang penting dituntaskan sekarang, khususnya menjelang pelaksanaan pemilihan legislatif 2024 adalah bagaimana agar jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif lebih besar lagi secara kuantitatif, setidaknya mampu mencapai target kuota keterwakilan perempuan yang telah ditetapkan.

Ketidakmampuan mencapai target secara kuantitas justru menjadi preseden buruk terhadap berlakunya affirmative action terhadap perempuan dalam pemilihan umum. Karena sudah didukung secara konstitusional tetapi perempuan itu sendiri tidak mampu merealisasikan kesempatan yang sudah diberikan.

Padahal persoalan utama dalam peningkatan kualitas demokrasi dan kerja-kerja di parlemen tidak cukup dilihat dari sisi kuantitas, tetapi harus mempertimbangkan kualitas perempuan itu sendiri berkiprah di lembaga legislatif, terutama tentang kualitas perempuan memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan perempuan khususnya.

Belum tercapainya target kuota perempuan minimal 30 % duduk di kursi parlemen merupakan diskursus menarik dan sangat penting  sebagai bahan dialog dalam membicarakan kiprah perempuan di pemilihan umum 2024, agar perempuan tidak hanya sebagai pelengkap untuk memenuhi kuota caleg, dan hanya sebagai cara  mensiasati peraturan pemilu dalam penyusunan daftar calon anggota legislatif.

Bukan merupakan rahasia umum lagi, dalam setiap penyusunan daftar calon anggota legislatif banyak partai politik mengalami kesulitan memenuhi kuota sebesar 30 persen, dan kelimpungan memenuhi Zypper System.  Sehingga kemudian muncul anggapan berkah yang diperoleh perempuan justru jadi beban bagi partai politik.

Oleh karena itu, secara konstitusional perempuan sudah memperoleh "garansi" memiliki kesempatan luas aktif di ranah politik, tetapi yang menjadi pertanyaan sejauh mana perempuan itu sendiri mampu memanfaatkan peluang tersebut dengan baik serta efektif.

Selain dibutuhkan peran aktif perempuan untuk lebih meningkatkan peran dan kemampuan di ranah politik, persoalan lain yang mendesak diretas oleh perempuan dalam kancah politik adalah masih melekatnya kultur "patriarki" di benak sebagian masyarakat Indonesia.

Hal tersebut tercermin dari hasil penelitian Edwars Aspinall dan Sally White yang melakukan penelitian terhadap sikap pemilih Indonesia. Disimpulkan bahwa sebanyak 62 persen respon setuju jika laki-laki lebih layak menjadi pemimpin  dibandingkan perempuan.

Itulah tantangan dalam mengharapkan semakin meningkatkannya peranan perempuan di Pemilu 2024.

Menjadi bahan permenungan bagi perempuan Indonesia untuk menetapkan langkah lebih spesifik dalam kerangka terealisasinya pencapaian keterwakilan perempuan di ranah politik, khususnya di lembaga parlemen.

Dan itu jadi pekerjaan rumah bagi kita semua tanpa pandang jenis kelamin. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun