Ketidakmampuan mencapai target secara kuantitas justru menjadi preseden buruk terhadap berlakunya affirmative action terhadap perempuan dalam pemilihan umum. Karena sudah didukung secara konstitusional tetapi perempuan itu sendiri tidak mampu merealisasikan kesempatan yang sudah diberikan.
Padahal persoalan utama dalam peningkatan kualitas demokrasi dan kerja-kerja di parlemen tidak cukup dilihat dari sisi kuantitas, tetapi harus mempertimbangkan kualitas perempuan itu sendiri berkiprah di lembaga legislatif, terutama tentang kualitas perempuan memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan perempuan khususnya.
Belum tercapainya target kuota perempuan minimal 30 % duduk di kursi parlemen merupakan diskursus menarik dan sangat penting  sebagai bahan dialog dalam membicarakan kiprah perempuan di pemilihan umum 2024, agar perempuan tidak hanya sebagai pelengkap untuk memenuhi kuota caleg, dan hanya sebagai cara  mensiasati peraturan pemilu dalam penyusunan daftar calon anggota legislatif.
Bukan merupakan rahasia umum lagi, dalam setiap penyusunan daftar calon anggota legislatif banyak partai politik mengalami kesulitan memenuhi kuota sebesar 30 persen, dan kelimpungan memenuhi Zypper System.  Sehingga kemudian muncul anggapan berkah yang diperoleh perempuan justru jadi beban bagi partai politik.
Oleh karena itu, secara konstitusional perempuan sudah memperoleh "garansi" memiliki kesempatan luas aktif di ranah politik, tetapi yang menjadi pertanyaan sejauh mana perempuan itu sendiri mampu memanfaatkan peluang tersebut dengan baik serta efektif.
Selain dibutuhkan peran aktif perempuan untuk lebih meningkatkan peran dan kemampuan di ranah politik, persoalan lain yang mendesak diretas oleh perempuan dalam kancah politik adalah masih melekatnya kultur "patriarki" di benak sebagian masyarakat Indonesia.
Hal tersebut tercermin dari hasil penelitian Edwars Aspinall dan Sally White yang melakukan penelitian terhadap sikap pemilih Indonesia. Disimpulkan bahwa sebanyak 62 persen respon setuju jika laki-laki lebih layak menjadi pemimpin  dibandingkan perempuan.
Itulah tantangan dalam mengharapkan semakin meningkatkannya peranan perempuan di Pemilu 2024.
Menjadi bahan permenungan bagi perempuan Indonesia untuk menetapkan langkah lebih spesifik dalam kerangka terealisasinya pencapaian keterwakilan perempuan di ranah politik, khususnya di lembaga parlemen.
Dan itu jadi pekerjaan rumah bagi kita semua tanpa pandang jenis kelamin.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H