Benar,banyak Bupati tidak harmonis dengan Wakil Bupati, demikian juga Walikota maupun Gubernur dengan wakilnya.Â
Itu semua karena saat proses penetapan dan pada saat Pilkada hanya mengutamakan faktor elektoral, bukan berorientasi kepada gagasan dan kualitas.
Banyak calon wakil digaet hanya karena popularitas, uang banyak dan bahkan hanya sebagai vote getter.
Karena dari awal juga bergabung bukan karena faktor gagasan, atau visi misi, maupun idiologi, maka rentan terjadi hubungan tidak harmonis saat mereka sudah terpilih.
Bahkan ketidak harmonisan tersebut lajim menyebabkan "Pekong" atau "Pecah Kongsi" sebelum masa jabatan berakhir, bahkan sering menyebabkan seorang wakil mengundurkan diri.
Penyebab lain adalah kesalahan memahami fungsi dan wewenang wakil kepala daerah, atau ada perjanjian atau komitmen mereka berdua sebelumnya yang ditetapkan tetapi tidak terpenuhi.
Secara UU Pemerintahan Daerah, seorang wakil bupati/walikota, maupun wakil gubernur memiliki wewenang sama sekali minim, dan hanya berfungsi membantu kepala daerah, tidak memiliki wewenang mengambil keputusan.
Wakil kepala daerah hanya bisa menyampaikan usul tanpa bisa ikut serta menentukan keputusan.
Bahkan dalam perencanaan dan pengelolaan anggaran seorang wakil kepala daerah tidak memiliki wewenang.
Seorang wakil hanya bisa melaksanakan tugas mewakili bupati/walikota, itupun umumnya hanya mewakili acara seremonial, sehingga seorang wakil kepala daerah sering tugasnya hanya "memotong pita" dalam acara tertentu.