Sebagaimana selama ini pelaksanaan pemilu cenderung dianggap hanya berorientasi prosedural belaka dan hanya mengutamakan prinsif elektoral untuk menang atau kalah, maka kultur dialogis maupun adu argumentasi diperlukan sebagai proses perbaikan kualitas pemilu.
Sehingga pemilu tidak terjebak hanya untuk kepentingan pragmatis, merebut kekuasaan hanya untuk mengamankan dan melanggengkan kepentingan besar sekelompok elit politik yang berjumlah kecil.Â
Dan yang terpenting lewat adu program pemilihan umum, khususnya pilpres terhindar dari arena balas dendam dan sarana melampiaskan ujaran kebencian.
Memang tidak dapat dipungkiri ada faktor-faktor intrinsik dan tersembunyi baik karena faktor platform, sejarah dan personal menyebabkan PDI Perjuangan enggan melakukan koalisi dengan partai-partai yang bergabung dalam rencana koalisi perubahan.
Tetapi kendala itu harus dipahami sebagai realita yang harus diterima dan dipahami sebagai konsekuensi perilaku politik yang tidak baik dimasa lalu, namun kendala itu harus dihadapi lewat adu program kerja maupun visi dan misi yang lebih baik.
Biarkan rakyat menilai dan memutuskan kerangka berpikir dan program kerja siapa yang dianggap terbaik, dan hal itu akan dijadikan sebagai barometer serta bahan pertimbangan dalam menentukan pilihan terhadap pigur calon presiden di pemilu.
Program atau platform yang diusung juga harus realistis dan adaptif sesuai dengan situasi dan kondisi, bukan bagaikan "menara gading", melayang di awang-awang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H