Vonis hakim terhadap Richard Eliezer banyak memperoleh apresiasi dari publik. Wajah hukum kita pun dipandang masih menjanjikan rasa keadilan.
Sebagaimana amar putusan hakim, Richard Eliezer terbukti ikut melakukan pembunuhan berencana terhadap Yosua Hutabarat. Tetapi dengan adanya beberapa pertimbangan meringankan, Eliezer hanya dikenakan hukuman 1 tahun 6 bulan jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa 12 tahun.
Eliezer sebagai salah seorang yang terbukti melakukan penembakan  terhadap Yosua dalam pandangan publik dianggap sebagai sebuah tindakan dibawah tekanan dan perintah pimpinan yang memiliki pangkat dan jabatan jauh teramat tinggi dibandingkan Eliezer yang hanya memiliki pangkat terendah di institusi kepolisian.
Ada 2 (dua) pesan sangat berharga yang bisa dipetik dari peristiwa vonis hukum yang dikenakan hakim ini :
Pertama, Hakim mempergunakan hukum hati nurani diatas hukum formal.
Kedua, Peristiwa ini berguna meruntuhkan sikap feodal kepangkatan institusi polisi.
Dalam amar putusan / vonis  hakim terhadap semua pelaku yang terlibat pembunuhan berencana hanya Eliezer memperoleh hukuman dibawah tuntutan Jaksa, dan memperoleh hukuman paling ringan.
Sedangkan empat orang pelaku lainnya malah diberikan hukuman lebih tinggi dari tuntutan Jaksa, bahkan Ferdy Sambo memperoleh hukuman mati.
Pemberian hukuman relatif ringan terhadap Eliezer sebuah pertanda Hakim memiliki kecerdasan emosional atau "emotional question" (EQ) berupa "Kemampuan Berempati", yaitu sebuah kemampuan memproyeksikan diri terhadap diri Eliezer, memposisikan diri terhadap diri Eliezer.Â
Sehingga hakim mampu merasakan persis apa yang sedang dirasakan Eliezer saat peristiwa penembakan terjadi, maupun yang kemudian terjadi dalam diri Eliezer yang mengaku bersalah, menyesal dan minta maaf, terutama kepada keluarga Almarhum Yosua Hutabarat.
Kemauan mengakui bersalah dan minta maaf oleh Eliezer bukti telah terjadi pertobatan atau metanoia, sebuah tindakan yang menjadi tujuan hukuman sesungguhnya.Â
Pemberian hukuman bukan melulu untuk menyiksa dan menyakiti phisik seseorang, tapi untuk memberi efek jera dan pertobatan agar terjadi proses perubahan perilaku seseorang.
Selama ini teramat sulit menemukan orang yang masih mau jujur mengakui kesalahannya. Kejujuran bagaikan barang langka dewasa ini.
Jujur merupakan tindakan yang sering sulit dilakukan oleh orang yang bersalah atau yang melakukan suatu kejahatan.
Hal itu dilakukan sebagai upaya mempertahankan keegoisan diri, dan menghindari maupun mengelabui konsekuensi hukuman, maupun sebagai ekspresi kesombongan diri dan merasa memonopoli kebenaran.
Sehingga ada ungkapan "Mana ada maling yang jujur", dan "Sebuah kebohongan yang sudah dilakukan akan ditutupi dengan kebohongan-kebohongan  lebih banyak lagi".
Pengakuan jujur, dan kemauan Eliezer sebagai "Justice Collaborator" turut meringankan, tetapi yang terpenting diatas segalanya adalah kemauan Eliezer untuk terbuka terhadap dirinya, terutama membuka tabir gelap skenario yang telah disusun Ferdy Sambo sebelumnya dengan sandiwara terjadinya pelecehan seksual di Duren Tiga terhadap istrinya istrinya Putri Candrawati.
Keterbukaan dan kejujuran Richard Eliezer dalam peristiwa ini sangat mahal harganya, tidak ternilai dan tidak terbeli, karena tanpa kejujuran Eliezer maka versi skenario awal yang telah disusun Ferdy Sambo lah yang berjalan.Â
Dan karena adanya kejujuran Eliezer maka dia memperoleh hukuman relatif ringan sebagai pertanda juga bahwa kejujuran akan memperoleh ganjaran yang sepadan, sehingga memberi motivasi agar semakin banyak orang yang mau berbuat jujur.
Kejujuran bernilai mahal itulah yang dilihat para hakim mempergunakan mata hati dan nuraninya sebagai bentuk ekspresi kemampuan berempati atau emotional question.Â
Sebuah kecerdasan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan dunia saat ini yang semakin kehilangan kemampuan mendengar bisikan hati nurani sebagai hukum tertinggi.
Hati nurani jadi sumber hukum tertinggi karena itulah petunjuk paling jujur, selalu setia walau sering kita abaikan, dan menjadi petunjuk kebenaran paling hakiki dari dalam diri, dan dimiliki manusia sebagai anugerah Sang Illahi.
Terakhir, pesan berharga yang sangat penting dan layak segera direalisasikan adalah mengikis habis jiwa dan sikap feodal di dalam institusi kepolisian.
Sudah merupakan sebuah tradisi yang terpelihara dengan baik dan berlaku baku di institusi kepolisian menjadikan pangkat dan jabatan tidak ubahnya sebagai kasta, berlaku kesenjangan dan perbedaan mencolok atas nama pangkat, sehingga personil berpangkat rendah harus manut dan patuh secara komando kepada atasan tanpa reserve.
Richard Eliezer sebagai seorang personil polisi menyandang pangkat paling rendah dalam institusi kepolisian ketika berhadapan dengan pigur komandan Jenderal Bintang Dua, jarak kepangkatan teramat "njomplang", jauh beda bagaikan bumi dan langit, secara psikis menempatkan Eliezer pada posisi sangat lemah, kecil dan tak berdaya untuk lebih leluasa menolak perintah yang diberikan Ferdy Sambo sebagai seorang atasan yang berpangkat tinggi dan jabatan elit.
Ferdy Sambo juga dalam hal itu menganggap Eliezer sebagai orang kecil yang harus nurut terhadap perintahnya sebagai seorang Jenderal, sehingga Eliezer diperlakukan tak ubahnya hanya sebagai "kacung". Kesombongan itu dapat tercermin dari sikap Ferdy Sambo bukan hanya dari perintah menembak, tapi nampak juga dari sikapnya menjanjikan pemberian uang dalam jumlah lumayan besar sebagai imbalan kepada Eliezer.
Bukankah hal itu merupakan salah satu bentuk kesombongan teramat menyakitkan, seakan dengan uang segalanya bisa dibeli, termasuk membeli Eliezer hidup-hidup dan nyawa Almarhum Yosua Hutabarat.
Ironisnya, pangkat juga seakan lambang kekayaan, jenderal punya duit banyak sehingga bisa membeli nasib anak buah yang berpangkat rendah.
Lewat peristiwa ini kiranya institusi kepolisian memetik hikmah dan melakukan pembaharuan dalam kultur internal dalam hal kedudukan pangkat, sehingga tidak lagi nampak sikap feodal oknum berpangkat tinggi sesuka maunya terhadap anak buah berpangkat rendah.
Kedepannya, bila penting korp kepolisian tidak perlu menyematkan tanda pangkat di baju seragamnya, sama saja dengan ASN yang mempergunakan baju seragam tanpa mengenakan lambang pangkat di pundaknya.
Masyarakat hanya butuh pelayanan kepolisian yang baik sebagai institusi penegak hukum, dan tidak butuh pangkat apapun untuk memperoleh pelayanan.
Untuk internal institusi kepolisian juga perlu menghilangkan sikap feodal dan arogansi atas nama pangkat, karena sesungguhnya pangkat dan jabatan itu hanya golongan pembagian tugas, bukan merupakan hirarki menunjukkan tinggi rendahnya nilai-nilai kemanusiaan.
Dibalik sebuah peristiwa duka, terutama kejadian mencoreng marwah Kepolisian dengan peristiwa pembunuhan berencana terhadap Yosua Hutabarat oleh Ferdy Sambo dan kawan-kawan tidak cukup hanya disesali apalagi  untuk dimaki, tetapi dari peristiwa tersebut kiranya mampu diambil pembelajaran berharga untuk perbaikan ke arah lebih baik.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam peristiwa ini telah mampu menghadirkan harapan dan nuansa baru dalam penegakan hukum, dan sangat diapresiasi banyak kalangan, terutama masyarakat kecil yang selama ini kadung tidak percaya lagi terhadap institusi hukum.
Saatnya sudah tiba institusi Kepolisian Republik Indonesia memberikan harapan baru mewarnai penegakan hukum ke arah lebih baik.
Kita nantikan....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H