Dengan adanya jaminan secara konstitusional terhadap "Affirmative Action" dan "Zypper System" dalam undang-undang Pemilu maka perdebatan tentang tuntutan persamaan kesempatan berkiprah di politik bagi perempuan Indonesia sudah paripurna dan tuntas.Â
Persoalan selanjutnya adalah sejauh mana kesempatan tersebut dapat dimanfaatkan oleh Perempuan Indonesia untuk menunjukkan eksistensinya di ranah politik, sehingga kebijakan afirmatif yang diperolehnya bukan sekedar legitimasi miskin makna dan justru tidak mampu meningkatkan keberadaan perempuan dalam ranah politik secara kuantitas dan kuantitatif.
Affirmation Action jangan sampai mengalami degradasi makna, karena didefenisikan sebagai kebijakan memberi kedudukan istimewa kepada perempuan.
Itu artinya perempuan berhasil memperoleh kesempatan jadi calon legislatif hanya karena memenuhi tuntutan peraturan, bukan karena perempuan tersebut memiliki kapasitas sebagai politisi.Â
Dalam menyusun calon-calon legislatif (caleg)Â sebagai kandidat dalam kontestasi Pileg dengan Zypper System yang mengharuskan setiap 3 orang caleg yang ditetapkan diharuskan minimal ada 1 (satu) perempuan didalamnya, justru menimbulkan dilema bagi partai politik, dan sering dianggap sebagai beban keharusan memenuhi peraturan pemilu bagi partai politik.Â
Bukan karena ada keinginginan melakukan diskriminasi, tetapi karena perempuan yang aktif sebagai kader partai politik jumlahnya sangat minim. Tidak seimbang dengan jumlah kebutuhan partai politik dalam menyusun daftar caleg.Â
Sehingga perempuan dalam penyusunan daftar Caleg sering dianggap hanya sebagai unsur pelengkap, malah sering dianggap sekedar Cheerleader, karena keberadaannya sebagai Caleg hanya berfungsi untuk memenuhi syarat tuntutan peraturan pemilu, bukan sebagai Caleg Vote Getter.
Fenomena tersebut merupakan "diskursus" menarik, aktual dan relevan dijadikan sebagai bahan permenungan dan topik perbincangan tentang "Kearusutamaan Gender (gender mainstreaming), maupun Keterwakilan Perempuan" dalam ranah politik untuk konteks saat ini.
Mengangkat topik tersebut bukan berarti untuk mendekreditkan dan delegitimasi peran penting perempuan dalam gelanggang politik dewasa ini, tetapi justru sebagai sumbangsih mulia untuk turut membantu meningkatkan peran penting perempuan yang berdasarkan fakta dan data mengalami perkembangan lebih baik dari periode ke periode karena adanya kebijakan affirmation action dan zyper system.
Jika dibandingan antara Pemilu 1999 dimana belum ada kebijakan affirmation action dengan Pemilu selanjutnya yang telah mempergunakan kebijakan affirmation action dan zyper system, maka akan nampak dengan jelas terjadi peningkatan jumlah perempuan yang berhasil sebagai legislator di DPR RI.
Intinya, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif terus menerus mengalami peningkatan dari pemilu ke pemilu selaras dengan adanya kebijakan yang berorientasi kepada memberi dukungan terhadap keterwakilan perempuan dalam undang-undang Pemilu.