Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Dilema Bakal Calon Legislatif 2024

10 Februari 2023   20:11 Diperbarui: 22 Februari 2023   02:15 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Jalan panjang Bakal Calon Legislatif. (sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

Secara literal monachopsis adalah perasaan halus dan sulit diungkapkan yang menghinggapi diri seseorang, saat mangalami kondisi gamang, kikuk, bingung, ragu, bahkan merasa asing ketika berhadapan dengan kondisi yang sedang dialaminya.

Bakal calon Anggota Legislatif (caleg) yang berasal dari kader internal partai politik kini tengah mempersiapkan diri ikut seleksi internal partai sebagai calon anggota legislatif yang akan ikut bertarung dalam kontestasi pemilihan legislatif (pileg) 14 Februari 2024.

Sebagai kader partai, sudah banyak makan asam garam dinamika politik, telah lama aktif melakukan konsolidasi internal partai, dan sudah sering turun kebawah berinteraksi dan sosialisasi dengan akar rumput yang bakal calon konstituen.

Jika dilihat secara logika umum, kader internal partai yang sudah aktif selama ini sebagai pengurus partai politik semestinya sudah memiliki jaringan terstruktur dengan baik, memiliki modal popularitas dan elektabilitas relatif mencukupi.

Tetapi dalam kenyataannya, caleg yang berasal dari kader internal partai tersebut saat hendak memutuskan ingin ikut sebagai caleg berkompetisi ke arena pemilihan umum 2024 dihadapkan kepada dua tantangan dilematis.

Pertama, caleg kader internal partai dihadapkan dengan kemungkinan munculnya kompetitor caleg yang bukan merupakan kader aktif selama ini. 

Dengan sistem pemilu proporsional terbuka saat ini umumnya partai politik memberi peluang luas kepada pigur potensial dari luar partai untuk dijadikan sebagai pigur meraup suara karena dianggap memiliki kemampuan finansial sesuai tuntutan kondisi pertarungan pemilu yang serba transaksional atau praktek money politics.

Kedua, caleg kader internal partai dihadapkan kepada realita maraknya praktek politik transaksional atau money politics yang mengharuskan seorang caleg tidak cukup hanya mengandalkan jaringan dan kedekatan personal untuk memperoleh suara (elektabilitas) di tengah maraknya transaksi jual beli suara yang menganut prinsif "ada uang ada suara".

Kondisi demikian menjadikan caleg kader  internal partai mengalami perasaan bingung serta kikuk untuk menentukan langkah ikut maju sebagai calon anggota legislatif bertarung dalam pileg 2024.

Kebingungan itu ditambah lagi oleh ketidakpastian jadi atau tidak diberlakukan sistem proporsional tertutup sebagai salah satu jalan memberi harapan kepada caleg yang berasal dari kader internal partai terpilih jadi anggota legislatif di DPRD maupun DPR tahun 2024.

Artinya, untuk bisa memperoleh kursi legislatif 2024 tidak bisa dipungkiri harus lewat kepemilikan modal atau jumlah uang yang relatif besar, dan bagi caleg yang tidak mengandalkan uang kecil kemungkinan akan memperoleh suara besar dan terpilih sebagai legislator.

Uang sudah merupakan alat penting untuk memenangkan seseorang jadi anggota legislatif lewat pemilu sistem proporsional terbuka saat ini.

Sistem pemilu proporsional terbuka merupakan salah satu bentuk liberalisasi demokrasi, semua orang memiliki kesempatan yang sama ikut bertarung dalam pemilihan umum berdasarkan mekanisme pasar terbuka, sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran transaksional mempergunakan uang sebagai alat transaksi.

Bertolak belakang dengan asumsi dasar makna dan fungsi partai politik yang pada hakekatnya merupakan peserta pemilu sesungguhnya, dan partai politik merupakan institusi resmi saluran aspirasi dan mengartikulasikan keinginan masyarakat lewat kebijakan budgeting, legislasi dan kontroling (pengawasan) yang merupakan aktualisasi fungsi sesungguhnya anggota legislatif.

Namun karena maraknya sistem pemilihan umum mengandalkan transaksi uang maka terjadi pergeseran jarak kedekatan partai politik dan anggota legislatif dengan masyarakat sebagai konstituen. Partai politik tidak lagi memiliki tanggungjawab moral sebagai artikulasi harapan masyarakat.

Degradasi keberadaan dan fungsi partai politik ini semakin menggiring kader internal partai yang militan dan ideologis diterpa kondisi monachopsis, gagap dan merasa terasing dengan kondisi serta realitas yang sedang terjadi.

Idealisme menjadi barang rongsokan yang tidak berlaku untuk diandalkan saat ini. Kader partai yang ideologis dan memiliki idealisme sebagai kanal memperjuangkan aspirasi masyarakat jadi tersingkir ke ruang hampa, tidak berarti dan menjadikan mereka dirundung perasaan bingung, tidak mampu memahami realitas dengan mempergunakan rasionalitas maupun idealisme yang dimiliki.

Kondisi ini bukan hanya memperburuk kualitas demokrasi diukur dari kuantitas maupun kuantitatif produk legislasi yang dihasilkan lembaga legislatif, tetapi secara paralel turut mendegradasi keberadaan dan fungsi sesungguhnya partai politik sebagai instrumen penting demokrasi.

Keruntuhan arti penting partai politik ini kemudian terakumulasi jadi pemicu kebencian dan ketidaksukaan masyarakat terhadap politik dan kader partai maupun caleg. 

Sehingga untuk mencari akar masalah memperbaiki kondisi ini tidak ubahnya bagaikan mengurai benang kusut, sulit mencari ujung pangkal dan mengurainya. 

Sehingga merupakan sebuah dilema bagi calon anggota legislatif yang memiliki idealisme untuk ikut bertarung di pileg 2024 dengan orientasi memperbaiki sistem maupun budaya buruk yang sedang terjadi.

Dengan demikian, jangan heran jika dalam menghadapi pileg 2024 akan banyak kader partai yang ideologis dan berkualitas merasa canggung ikut bertarung, bahkan akan banyak diantara mereka memilih untuk undur diri dari gegap gempita kontestasi pemilihan umum 2024.

Selain merasa terasing dengan kondisi yang ada, tidak menutup kemungkinan akan muncul sikap frustrasi menghadapi situasi dan kondisi yang sedang terjadi, karena situasinya sangat diluar kemampuan nalar dan rasionalitas.

Dengan demikian jangan berharap banyak peningkatan kualitas demokrasi dalam waktu dekat ini. Pelaksanaan pemilihan legislatif 2024 diprediksi akan masih diwarnai oleh maraknya praktek transaksional money politik yang menjerumuskan demokrasi ke jurang kehancuran kualitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun