Proses konsumsi berita sebagai sumber pengetahuan terjadi dengan prinsif GIGO (Gerbage In Gerbage Out), artinya apa yang masuk atau diterima oleh otak manusia, maka produk yang dihasilkan oleh otak itu juga sesuai dengan nilai-nilai yang diterima atau asupan otak itu sendiri.
Jika berita yang sering diterima publik adalah berita bohong atau hal-hal yang negatif maka pikiran, ucapan dan tindakan orang tersebut juga akan berbentuk "negative thinking"serta tidak produktif.
Sebaliknya jika asupan otak manusia didominasi oleh hal-hal positif maka cara atau kerangka berpikir seseorang itu juga akan selalu positif dan produktif untuk kemajuan pribadi maupun untuk kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.
Itulah secuil gambaran betapa pentingnya peran media massa menyajikan berita sebagai proses pembelajaran atau edukasi terhadap pembaca atau audiens.
Jika kualitas berita yang disajikan media massa buruk maka proses pembelajaran yang dilakukan masyarakat juga akan buruk, konsekuensinya juga akan menyebabkan kondisi masyarakat hidup dalam suasana sangat buruk, selalu berpikir negatif, tidak memiliki orientasi positif menjalani kehidupan karena selalu memandang sesuatu dari sisi negatif saja. Sehingga motivasinya juga negatif yang berkorelasi dengan tindakan yang buruk sehingga menyebabkan mereka hanya sebagai pecundang, bukan sebagai orang sukses dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.
Ditengah fenomena  disrupsi digital yang menyebabkan media mainstream mengalami degradasi makna dan fungsi dibutuhkan kemampuan manajemen media, khususnya surat kabar, yang berorientasi kepada menjadikan media tersebut sebagai wahana atau alat pembelajaran bagi masyarakat.
Pembelajaran dalam hal ini bukan hanya menyajikan berita tentang suatu peristiwa yang menjadikan pembaca hanya belajar tentang sesuatu, tetapi media mainstream harus jadi sarana pembelajaran menjadikan manusia jadi manusia sesungguhnya, yaitu berpikir holistik dan multidimensional dengan melihat peristiwa berdasarkan fakta dan realita yang benar.
Kebenaran tidak bisa dimonopoli oleh kalangan tertentu, misalnya dengan menyebarkan berita bohong, tetapi kebenaran itu seluas ilmu pengetahuan yang tidak selamanya seluas pengetahuan yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.
Untuk menyempurnakan pengetahuan umat manusia lebih utuh, dan untuk membantu menambah kebenaran pengetahuan umat manusia dibutuhkan proses pembelajaran lewat media edukatif, hal itu dapat diperoleh dari media mainstream yang menyajikan berita aktual, berdasarkan fakta dan dapat dipertanggungjawabkan.
Itulah ceruk yang tengah hilang ditengah maraknya media online dan media sosial dewasa ini yang dapat dijadikan media mainstream sebagai pangsa pasar potensial mendukung keberlangsungan hidup dan eksistensi media mainstream.
Dengan demikian media mainstream sebenarnya bukan ketinggalan zaman, tetapi tetap dibutuhkan sesuai dengan panggilan zaman, ruang dan waktu lewat pelaku media yang kreatif, inovatif dan adaptif.