Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kiprah Global NU Antisipasi Benturan Peradaban Sebuah Harapan Di Tengah Usia Satu Abad

8 Februari 2023   14:06 Diperbarui: 8 Februari 2023   14:32 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
,Logo Harlah Satu Abad NU. tribunnews.com

NU (Nahdlatul Ulama) salah satu organisasi umat Islam terbesar, sudah terbukti berperan penting dan konsisten merawat harmonisasi kehidupan bangsa Indonesia sejak kelahirannya hingga saat ini merayakan ulang tahun "Se-Abad".

Tercermin dari kiprah NU selama ini menjaga harmonisasi antar umat beragama, keseimbangan antara Agama dan budaya, maupun keseimbangan antara Agama dengan Negara (politik) berlandaskan nilai-nilai nasionalisme , hubbul wathon minal iman (nasionalisme atau cinta tanah air bagian dari iman), dan Islam yang rahmatan lil alamin (Ajaran Agama Islam yang universal, penuh kasih sayang, cinta, persaudaraan dan kedamaian).

Kini, di usia ke-100 tahun, wajar muncul kerinduan melihat kiprah NU di gelanggang internasional atau global. Sebuah keinginan tidak berlebihan, karena secara historis NU tahun 1926 lahir diprakarsai oleh ulama-ulama Indonesia tidak terlepas sebagai reaksi dan protes terhadap aliran Wahabi Salafi, atau gerakan pemurnian Islam yang menolak bentuk ritual atau praktek keagamaan yang dianggap telah terkontaminasi oleh budaya luar.

Gerakan Sunni Puritan atau pemurnian Agama ini didirikan Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1791) merujuk tokoh inspirator dan reformis abad 14 Masehi Ibnu Taimiyah. Kemudian muncul gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, yaitu gerakan yang berafiliasi dengan Wahabi.  

Kelompok intoleransi ini menganggap semua pihak yang tidak sejalan dengan mereka disebut sebagai kafir dan musyrik, sehingga harus diperangi. Kelompok ini juga berupaya menyusup dalam pemerintahan di beberapa negara sebagai langkah mempengaruhi kebijakan pemerintah sesuai dengan keinginan mereka.

Francis Fukuyama, Profesor di Paul H. Nitze School of Advanced International Studies, Johns Hopkins University (1989) dalam risalah Akhir Sejarah, menguraikan : "paska runtuhnya komunisme maka liberalisme akan berjaya, fasisme dan komunisme dianggap sudah mati sebagai lawan bebuyutan liberalisme atau kapitalisme". 

Pesaing ideologis yang tersisa sebagai musuh liberalisme adalah agama dan nasionalisme. Kebangkitan fundamentalisme agama dikuatirkan menimbulkan kontradiksi-kontradiksi di dalam masyarakat liberal. 

Kontradiksi lain yang dianggap berpotensi sebagai musuh liberalisme adalah nasionalisme berbentuk kesadaran rasial dan etnik.

Kemudian Francis Fukuyama menegaskan, di dunia modern sekarang ini hanya Islam menawarkan konsepsi negara teokratis sebagai alternatif politik liberalisme maupun komunisme. Namun kebangkitan kembali agama dalam beberapa hal dianggap melahirkan ketidakbahagiaan yang luas terhadap impersonalitas dan kekosongan spiritual masyarakat konsumeris liberal.

Liberalisme modern dipandang Fukuyama sebagai panggilan sejarah, merupakan konsekuensi dari kelemahan masyarakat berdasarkan agama gagal mewujudkan kehidupan yang baik, perdamaian dan stabilitas.

Samuel P. Huntington, Profesor of the Science of Government, and Director of John M. Olin Institute for Strategic Studies Harvard University (1993), dalam risalah Benturan Peradaban mengatkan, "Hipotesis saya adalah bahwa sumber utama konflik di dunia baru ini bukanlah ideologi atau ekonomi. Budayalah yang akan menjadi faktor pemecah belah umat manusia, dan sumber konflik yang dominan".

Konflik antar peradaban akan jadi tahap terakhir dalam evolusi konflik di dunia modern setelah sebelumnya terjadi konflik antar bangsa yang kemudian berubah jadi konflik ideologi antara komunisme, fasisme-Nazisme dan demokrasi liberal. Selanjutnya terjadi konflik antara komunisme dan demokrasi liberal. 

Berakhirnya perang dingin, politik internasional bergerak keluar dari fase Barat, dan titik fokusnya beralih ke hubungan antara peradaban Barat dengan Peradaban Non Barat. Karena itu menurut Huntington, sekarang ini yang jauh lebih penting adalah mengelompokkan negara-negara bukan berdasarkan sistem politik atau ekonomi, tetapi berdasarkan budaya dan peradabannya, karena peradaban adalah sebuah entitas budaya.

Masyarakat dari peradaban berbeda memiliki pandangan berbeda. Modernisasi ekonomi dan perubahan sosial  di seluruh dunia memisahkan manusia dari identitas lokal yang sudah lama ada, sehingga agama hadir mengisi celah kekosongan ini dalam bentuk gerakan-gerakan fundamentalisme yang rentan menimbulkan benturan peradaban. 

Berakhirnya perang ideologi,  kesamaan budaya akan mengikis perbedaan ideologis, orang mendefenisikan identitas mereka berdasarkan etnis dan agama, mereka sangat mungkin akan melihat sebuah hubungan "kita" lawan "mereka", dan perbedaan budaya dan agama menciftakan perbedaan isu-isu kebijakan seperti hak asasi, imigrasi, perdagangan sampai lingkungan.

NU dalam Muktamar ke-33, di Jombang Jawa Timur, 1-5 Agustus 2015, mengangkat Thema "Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia".  Said Aqil Siroj, Ketua Pengurus Besar  Nahdlatul Ulama (24/7/2015) menjelaskan tema itu dipilih untuk menunjukkan "gabungan ke-khasan Islam dengan budaya lokal di Indonesia". Kehadiran Islam bukan untuk merusak atau menantang tradisi yang ada, Islam datang untuk memperkaya tradisi dan budaya yang ada secara bertahap. 

Said Aqil Siroj menegaskan, pemahaman Islam Nusantara dianggap penting karena menurut NU Islam Nusantara merupakan manhaj atau model beragama yang bergumul, berdialog,dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara melalui proses akulturasi, seleksi, dan adaptasi. 

Manhaj Islam Nusantara menurut NU harus diperjuangkan untuk masa depan Indonesia dan dunia, sehingga menunjukkan bahwa Islam yang sebenarnya ramah, inklusif dan solutif.

Dalam rangka memperingati satu abad, atau seratus tahun usia NU, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Yahya Cholil Staqup menyampaikan Thema HUT NU ke-110 adalah "Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru" ditetapkan berdasarkan sebuah hadits Rasulullah SAW mengenai adanya pembaharu di setiap 100 tahun, dan membangkitkan kalangan umat jadi pembaharu. 

Thema dan Ulang Tahun se-abad NU diharapkan sebagai tekad dan momentum yang mampu memicu kebangkitan baru bagi Nahdlatul Ulama, dan jadi momentum bagi NU masuk ke abad kedua.

Tekad itu ditunjukkan lewat logo peringatan seabad NU, dimana terdapat ornamen pita warna emas melingkari angka 1 yang mengandung nilai serta pesan visioner dan proyeksi mendigdayakan NU menjemput abad keduanya dengan kebangkitan baru, dan warna emas sebagai lambang optimisme dan visi yang hendak di raih.

NU dalam memperingati usia se-abad bukan hanya memberi secercah pengharapan bagi warga Nahdliyin, tetapi sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan termasuk sebagai organisasi Islam besar di dunia, kiprah dan sepak terjang NU sebagai organisasi yang kental dengan kultur merawat nilai-nilai harmonisasi di tengah kehidupan domestik dan global yang yang plural, NU dalam memasuki era abad keduanya mampu mewarnai kehidupan global saat ini, sebagaimana dikemukakan Francis Kukuyama dan Samuel Hutington, bahwa kita kini sedang berada pada tahap "pemungkasan sejarah", atau di "Akhir Sejarah" perang dingin komunisme dan liberalisme.

Kebangkitan peradaban baru yang diwarnai oleh semakin eksisnya Agama, yang bersamanya membawa hadirnya fundamentalisme, dikuatirkan bisa menimbulkan benturan peradaban dapat diatasi lewat adopsi dan aktualisasi "Manhaj" atau "Model" Nahdlatul Ulama, Islam Nusantara, yang dalam prakteknya melakukan interaksi dialogis, bergumul dan menyatu dengan perkembangan peradaban dengan cara akulturasi, seleksi dan adaptasi.

Kiranya di usia sudah 100 tahun, NU hadir dan mampu berkiprah di gelanggang internasional memperjuangkan dan merawat nilai-nilai harmonisasi kehidupan umat manusia di seluruh belahan dunia, sebagaimana selama ini sudah dilakukan NU di Indonesia sebagai benteng pertahanan harmonisasi kehidupan beragama dan bernegara. 

NU sesuai dengan visinya dalam memperingati HUT NU Se-Abad, kiranya mampu mewujudkan kebangkitan baru dalam bentuk kedigdayaan mendunia mewarnai kehidupan umat dunia dengan MANHAJ ALA NAHDLATUL ULAMA, yaitu Islam Nusantara, bukan merusak peradaban yang ada tetapi memperkaya peradaban dunia ke arah lebih baik untuk melahirkan kehidupan yang lebih harmonis, damai dan sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun