Atmosfer kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 makin hangat, kompetisi usung mengusung memenangkan calon presiden (capres) sudah vulgar, nampak jelas.
Figur capres besutan beberapa partai politik semakin menampakkan wujudnya, tetapi diskursus kriteria capres idaman sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi zaman masih miskin perbincangan.
Karena itu, perlu dilakukan diskusi intensif tentang kriteria atau dimensi primal kepemimpinan presiden yang bagaimana sesungguhnya dibutuhkan Bangsa Indonesia saat ini, sebagai jawaban menghadapi trend perkembangan serta tantangan zaman.
Michiko Kakutani dalam buku The Death of Truth (2018) menguraikan,  kita tengah hidup di "Era Paska Kebenaran (Post Truth), yaitu  zaman atau era matinya kebenaran,  atau kejayaan kebohongan.
Narasi kebohongan secara sadar diproduksi, dikomodifikasi, dikemas, dan disebarluaskan demi kepentingan politik tanpa peduli konsekuensi buruk, dan daya rusaknya.
Kebohongan dalam ranah politik secara historis sudah berumur ratusan tahun, sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, semakin terkenal di tangan Adolf Hitler.
Tahun 1928 Hitler pimpinan Nazi, mengangkat Joseph Goebbels sebagai menteri propaganda Jerman, pemilik gelar Doktor Filologi lulusan Universitas Heidelberg Jerman, kemudian terkenal dengan strategi propaganda lewat cara "menyebarkan kebohongan secara terus menerus dan berulang-ulang, dan meyakini kebohongan yang disampaikan secara berulang-ulang akan dianggap sebagai kebenaran oleh publik".
Saat ini kehidupan kita ditandai oleh maraknya media sosial berupa Facebbook, Twitter, Instagram, dan Youtube, sehingga disebut sebagai era media sosial. Fenomena ini semakin mempermudah penyebaran berita bohong secara massif sehingga rentan disalah gunakan untuk kepentingan sempit.
Lewat media sosial ini narasi kebohongan semakin mencapai puncaknya, karena media sosial mudah diakses, berdaya jangkau luas dan efektif sebagai media penyebar informasi bohong (hoax), kabar burung atau desas-desus, fitnah dan opini sepihak menyesatkan (false hood information), atau firehose of falsehood (semburan dusta), yaitu teknik propaganda menyiarkan pesan bohong dalam jumlah besar secara cepat, berulang-ulang dan tanpa henti di media sosial tanpa memperdulikan kebenaran atau kepastian.
Donald Trump merupakan salah satu tokoh politik yang dianggap gemar mempergunakan gaya komunikasi politik kontroversial menyampaikan informasi tidak berdasarkan data dan fakta sehingga dianggap menyampaikan informasi kosong (Bullshits), sehingga Trump memperoleh penghargaan berbentuk satir "LIE OF THE YEAR 2017", yaitu sebuah penghargaan karena dianggap memberikan pernyataan sebagai sebuah kebohongan besar pada tahun 2017.Â
Konon kemenangan Trump jadi Presiden Amerika Serikat juga tidak terlepas dari gayanya melakukan kampanye menyebarkan berita bohong.
Pemilihan Presiden Indonesia 2024 dikhawatirkan akan diwarnai oleh gaya kampanye memanfaatkan informasi bohong atau hoax lewat media sosial. Atau politik gaya belah bambu, yaitu menginjak satu sisi kemudian mengangkat sisi lain lewat cara menebarkan informasi bohong.Â
Politik mempergunakan media sosial sebagai alat kampanye selain dianggap berbiaya murah, media ini dianggap sangat efektif karena masyarakat Indonesia merupakan salah satu pengguna terbesar media sosial di dunia.
Gaya kampanye atau propaganda menyebarkan berita bohong atau fitnah ini rentan untuk menimbulkan ujaran kebencian dan menimbulkan polarisasi serta perpecahan di masyarakat, dan pernah dilakukan dalam berbagai kontestasi pemilihan umum baik Pilkada dan Pilpres, yaitu berupa kampanye mengeksploitasi sentimen primordial, baik suku dan agama. Masyarakat Indonesia yang plural terdiri dari beragam suku dan agama memiliki potensi untuk dipolitisasi.Â
Dan masyarakat Indonesia yang terkenal sangat mudah iba dan berbelas kasihan juga gampang dipolitisasi dengan cara menyebarkan ujaran kebencian dengan cara menyalahkan pihak lain sebagai orang yang jahat, atau menjadikan diri sendiri seakan jadi korban, korban penyerangan, segala hal buruk didalam dirinya seakan sengaja dilakukan orang lain untuk menyakiti, atau menyalahkan orang lain atas kejadian yang dialaminya.Â
Cara seperti ini lazim disebut sebagai "playing victim", atau pencitraan seolah dirinya sebagai korban untuk memperoleh simpati atau dukungan orang lain.
Playing Victim atau kampanye berbentuk hoax serta penyebaran informasi menyesatkan dilakukan sebagai dissonance atau menggerogoti emosi masyarakat yang baik, kemudian menggerakkan emosi negatif berupa sikap kebencian, atau perasaan tidak menyenangkan berbentuk ekspresi rasa benci, iri, dengki, kecewa, sakit hati, tidak puas dan dendam.
Sedangkan kebalikan dissonance adalah "resonansi", yaitu menggerakkan atau memancing emosi positif (positive emotion) berupa sisi terbaik dari dalam diri seseorang atau perasaan positif berupa harapan, romansa, keyakinan, cinta dan rasa bahagia yang memberikan kenyamanan dan sensasi meneyenangkan.Â
Hal ini bisa terjadi bila seseorang berhasil mencapai yang diinginkan, mampu melewati kesulitan dan berhasil mencapai tujuan dan diekspresikan dengan ungkapan rasa syukur, sukacita, gembira, rasa bangga dan ketenangan.
Oleh karena itu, di tengah kehidupan dewasa ini yang identik dengan era media sosial rentan dengan penyebaran berita bohong menggerogoti sisi emosi negatif masyarakat, dan merusak harmoni kehidupan masyarakat.
Maka untuk menghindari maraknya penyebaran berita bohong atau hoax dibutuhkan figur presiden yang mampu mengarahkan emosi kolektif masyarakat ke arah positif, yaitu berupa dorongan terhadap emosi orang ke arah emosi positif atau antusiasme, atau kerangka berpikir positif.
Karena dengan berpikir positif masyarakat diharapkan lebih produktif serta mengalami performance kinerja lebih baik serta terjadi peningkatan kualitas hidup maupun kesejahteraan.Â
Sebaliknya pemimpin yang memanfaatkan sisi negatif emosi masyarakat hanya akan menjadikan individu-individu bersikap "negative thinking", penuh rasa kecemasan dan memiliki sikap kebencian yang berpengaruh menjadikan kinerja masyarakat semakin merosot serta menjadikan masyarakat sebagai kaum pecundang.
Pemimpin atau presiden yang diharapkan sesuai dengan tuntutan zaman saat ini bukan lagi sekedar memiliki kharisma dan popularitas yang tinggi, tetapi dibutuhkan figur pemimpin yang mampu menggerakkan emosi secara positif dan memancing keluar sisi terbaik dari dalam diri seseorang atau masyarakat.Â
Karena emosi sebagai bentuk reaksi seseorang terhadap situasi tertentu yang dilakukan oleh tubuh berkaitan erat dengan aktivitas berpikir (kognitif), yaitu intensitas emosi dikarenakan persepsi atas situasi yang terjadi.
Jika reaksi seseorang didominasi pandangan negatif atau emosi negatif terhadap suatu peristiwa (afeksi negatif) maka orang tersebut akan selalu berpikir negatif serta tidak produktif, karena persepsi egatif akan menjadikan seseorang berpikir negatif (Negative Thinking) atau emosi negatif akan jadi hambatan bagi kemajuan manusia serta menurunkan kinerjanya.
Pemimpin dewasa ini dihargai dan dianggap berhasil apabila mampu memainkan peran emosi positif masyarakat yang dipimpinnya, mengarahkan emosi kolektif ke arah positif.
Jika emosi orang didorong ke arah antusiasme maka kinerja akan meningkat, kemampuan ini merupakan soft skill yang harus dimiliki oleh pemimpin zaman sekarang, kemampuan tersebut berkaitan erat dengan kecerdasan emosional (emotional quotient) sebagai dasar melahirkan primal leadership.
Pemimpin yang memiliki primal leadership akan menggerakkan emosi pengikutnya ke arah yang benar, karena pemimpin yang mampu menggerakkan emosi secara positif akan memancing keluar sisi terbaik dari dalam diri seseorang, hal itu lajim disebut sebagai efek resonance.Â
Primal leadership berkaitan dengan kemampuan pemimpin memotivasi munculnya efek resonance dari dalam diri masing-masing orang dipimpinnya.Â
Atau pemimpin yang mampu menggerakkan, membangkitkan semangat, memberi inspirasi dengan melibatkan emosi yang bersifat primal atau yang utama, dan merupakan tugas terpenting yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin.
Primal leadership menjadikan kemampuan memahami emosi positif masyarakat sebagai sebuah tugas utama atau primal, yang berkaitan dengan kemampuan seorang pemimpin dalam hal memproyeksikan dirinya ke dalam diri seseorang atau masyarakat, sehingga mampu memahami dengan benar apa yang sedang dialami dan apa sebenarnya yang diharapkan masyarakat.Â
Kemudian mampu memberikan sesuatu sesuai dengan keinginan masyarakat, hal ini berkaitan dengan kemampuan berempati yang merupakan salah satu kemampuan yang berasal dari kecerdasan emosional dan mempengaruhi primal leadership seorang pemimpin.
Dengan demikian, sesunggunya bangsa kita kini tengah mengharapkan terpilihnya figur presiden yang memiliki primal leadership di tengah-tengah kehidupan dewasa ini.
Kehidupan yang serba pragmatis, cenderung menghalalkan segala cara mencapai tujuannya, serta terjebak dalam sikap manipulasi data dan fakta lewat media sosial menyebarkan berita bohong atau hoax yang identik dengan istilah yang mengatakan manusia dewasa ini sedang hidup dalam era post truth atau zaman paska kebenaran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H