Pasalnya, sistem tersebut dianggap sebagai salah satu pilihan terbaik di antara terburuk sesuai dengan asumsi yang mengatakan semua sistem pemilu yang ada memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Namun, bukan berarti pula sistem proporsional tertutup merupakan pilihan satu-satunya yang dianggap mampu sebagai dewa penyelamat perbaikan kualitas pemilu, khususnya untuk mengeleminir praktik money politics.
Bicara tentang money politics tak ubahnya bagaikan mengurai benang kusut, sulit mencari ujung pangkalnya untuk diurai, bahkan bagai memperdebatkan mana duluan sebuah telur atau seekor ayam, rumit dan menyita energi banyak.
Maka dari itu perdebatan tentang sistem pemilu bukan berarti membuka peluang untuk sesuka hati mengusulkan sistem pemilu, misalnya kemudian muncul tawaran memberlakukan sistem distrik yang sama sekali baru, lain dari yang ada sebelumnya.
Tapi sistem proporsional tertutup ditawarkan sebagai solusi untuk memperbaiki kekurangan yang timbul dari penerapan sistem proporsional terbuka, bukan berarti melakukan perubahan yang cenderung bersifat trial and error, apalagi hanya sekedar untuk gagah-gagahan.
Perbaikan itu dilakukan karena pengalaman mengajarkan pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional terbuka selama ini mempertontonkan secara terbuka juga bahwa pemilu dilaksanakan dengan cara buka-bukaan dan nampak secara terbuka marak praktik transaksional jual beli suara, dan nampak secara terbuka hanya orang yang memiliki uang melimpah terpilih jadi anggota legislatif.
Hal itu semua nampak secara terbuka di depan mata kita, maka dianggap perlu ditutupi dengan sistem pemilu proporsional tertutup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H