Mengemis identik dengan tindakan meminta-minta sedekah, atau memohon kepada orang lain agar diberikan bantuan tanpa mengharapkan ada umpan balik kepada si pemberi. Konon istilah mengemis sudah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia yang dipergunakan oleh Departemen / Kementerian sosial, tetapi sampai hari ini masih sulit menemukan padanan kata yang tepat tentang mengemis.
Menurut Peraturan Menteri Sosial No 8 tahun 2012, pengertian pengemis adalah orang yang meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan harapan untuk memperoleh belas kasihan orang lain.
Mental pengemis adalah suatu kondisi membuat seseorang berpikir selalu merasa kekurangan, tidak tercukupi kebutuhannya, selalu ingin gratisan, merasa paling susah dan ingin dikasihani, yang pada intinya menjadikan seseorang suka meminta-minta.
Lebih spesifik lagi mengemis diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh penghasilan dengan cara meminta-minta. Hal ini lajim dilakukan oleh orang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) seperti orang gelandangan, fakir miskin dan penyandang disabilitas.
Namun saat ini sering kita temui mengemis dilakukan dengan modus dan kemasan lebih baik, tidak berbentuk konvensional dan terorganisir dengan mengatasnamakan program kemanusian, maupun program religi.  Bahkan ada juga yang melakukannya  mengikuti trend kemajuan teknologi informasi seperti media sosial dan media online. Dan yang sedang viral sebagai bahan perbincangan akhir-akhir adalah mengemis lewat Tik Tok, yang identik dengan sebutan mengemis online.
Bicara tentang mengemis tidak bisa dipisahkan dari dua sikap yang terkandung didalamnya, yaitu memberi dan meminta, ada baik buruknya sekaligus paradoksal. Di satu sisi mengemis dipandang sebagai sebuah sikap buruk atau gangguan mental, namun disisi lain tindakan memberi kepada orang lain secara religi diyakini sebagai tindakan mulia dan memperoleh pahala. Oleh karena itu bicara tentang baik buruknya sikap mengemis sering menimbulkan kontradiksi antara setuju dan menolak.
Tanpa mengurangi rasa penghargaan terhadap kontradiksi pemahaman makna mengemis, salah satu hal menarik dan penting jadi bahan dialog dalam menyikapi praktek mengemis adalah melihatnya dari sudut pandang daya Achievement Drive atau "Dorongan Berprestasi" yang berkaitan erat dengan kerangka berpikir (mindset).
Tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan umat manusia untuk mencapai suatu kesejahteraan hidup dibutuhkan kemauan dan kemampuan berjuang mencapai target, baik sebagai karyawan, pegawai atau sebagai pekerja mandiri seperti misalnya petani maupun pedagang. Dari proses kerja keras diharapkan akan diperoleh hasil lebih berupa materi berbentuk uang untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun untuk menabung.
Untuk memperoleh uang tersebut tidak ada jalan pintas yang bisa dilakukan selain harus melakukan kerja keras dan berprestasi. Orang yang berprestasi berarti memiliki keunggulan lebih dibandingkan orang lain, dan orang yang memiliki keunggulan inilah disebut sebagai orang sukses dibanding dengan orang lain yang prestasinya lebih rendah.
Menjadi orang sukses  hanya jadi milik orang yang memiliki Achievement Drive atay dorongan berprestasi yang tinggi. Dan orang yang sukses itu identik dengan orang yang mampu menaklukkan hambatan kemudian mengubahnya jadi peluang menguntungkan, maka orang sukses sering disebut dengan orang yang mampu menghadapi rintangan atau kesulitan, mengalahkan kegagalan dan kemalangan.
Orang yang memiliki Achievement Drive tinggi ini oleh Paul G Stoltz dalam bukunya Adversity Quotient, Turning Obstackle Into Opportunities (1997) dianalogikan sebagai "Climbers" atau orang-orang pendaki gunung, yaitu orang yang tidak pernah menyerah oleh karena kesulitan. Sama halnya dengan para pendaki gunung yang dengan susah payah melakukan pendakian, menguras banyak energi, melelahkan bahkan adakalanya mempertaruhkan nyawa bisa terjatuh kedalam jurang maupun tebing yang curam. Tetapi hasil jerih payah mereka mencapai puncak gunung akan memberikan kebahagian tersendiri yang tidak bisa dinilai dengan materi.
Orang yang mencapai puncak gunung itu lajimnya hanya sebagain kecil dari demikian banyak orang, jumlahnya sama persis dengan bentuk puncak gunung yang lebih kecil dibandingkan dasar gunung. Gunung itu umumnya berbentuk mengerucut di puncaknya, dabn puncak yang kecil itu hanya milik orang yang sukses melakukan pendakian dengan gigih mencapai puncak tertinggi.
Selain ada orang yang memiliki sikap Climber, Stoltz juga menyebut ada orang yang memilih sebagai "Campers", atau orang yang memilih untuk berkemah. Yaitu orang yang merasa sudah cukup memotivasi diri sendiri tetapi tidak berupaya untuk bekerja lebiha keras mencapai hasil lebih baik. Orang seperti ini sering disebut dengan orang yang gampang merasa puas, tidak terdorong untuk bekerja lebih untuk mencapai hasil yang lebih melimpah.
Sama halnya dengan orang yang pada dasarnya memiliki keinginan sebagai pendaki gunung, tetapi setelah melakukan pendakian di tengah jalan memilih berhenti menikmati apa yang sudah dicapainya dengan berkemah di tengah perjalanan menikmati apa adanya yang telah diperolehnya, dan merasa sudah puas dengan itu saja.
Yang terakhir, dan yang paling memprihatinkan adalah orang yang memilih menjadi "Quitter" atau Orang-orang yang memilih berhenti melakukan pendakian, belum mencoba melakukan pendakian sudah duluan memilih tidak mendaki dengan alasan mendaki gunung itu melelahkan, mengancan nyawa dan merupakan pekerjaan sia-sia.
Kaum Quitter ini umumnya memilih jalan hidup dengan pertimbangan sudah merasa cukup hanya terpenuhi kebutuhan hidupnya secukupnya, tidak memiliki motivasi kuat atau ambisi tinggi tetapi memilih bekerja secukupnya dan santai tanpa memikul beban berat, pantang putus asa serta sering menyalahkan keadaan.
Analogi diatas memberi gambaran perbedaan kontras sikap atau kerangka berpikir yang dimiliki oleh orang sukses dibanddaringkan dengan orang yang hidupnya memprihatinkan. Â Stoltz menyebutkan perbedaan mencolok diantara orang sukses dengan orang gagal adalah orang sukses itu umumnya memiliki kecerdasan dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratut yang disebutnya sebagai Adversity Quitient.
Dalam kehidupan untuk meraih kesuksesan hidup, baik dalam karir maupun profesi tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan IQ, tetapi keberhasilan seseorang cenderung karena faktor kecerdasan bertahan dalam kesulitan dan kemampuan menaklukkan hambatan, yaitu Adversity Quitient (AQ).
Sikap lebih senang meminta-minta dan hanya berharap dari bantuan belas kasihan orang lain merupakan salah satu bentuk ekspresi sikap kaum Quitter, memiliki motivasi rendah, Â atau daya dorong untuk berprestasi lemah, ingin hidup santai karena merasa cepat puas dengan memperoleh sesuatu secukupnya.
Oleh karena itu bicara tentang dampak buruk sikap meminta-minta yang paling penting dibicarakan adalah masalah kerangka berpikir atau mindset seseorang, terutama yang berkaitan dengan daya dorong untuk berprestasi (Achievement Drive) yang sangat rendah dalam diri seseorang. Â Untuk mengentaskan sikap meminta-minta dibutuhkan proses pergeseran atau merubah kerangka berpikir (Mindset Change).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H