Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mencium Aroma "Cukong" Pilpres 2024

11 Desember 2022   14:00 Diperbarui: 11 Desember 2022   14:05 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rafflesia Arnoldi, tribunnewswiki.com

Beberapa waktu lalau, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyampaikan ke pers, perlawanan terhadap oligarki jadi salah satu sebab deklarasi Koalisi Perubahan tertunda. Pihaknya tak ingin ada keterlibatan pemodal besar dalam koalisi. Oligarki politik adalah penyakit demokrasi di Indonesia (Kompas.com, 10/11/2022).

Hal ini disampaikan Mardani Ali Sera berkaitan dengan gagalnya deklarasi Capres Anies Baswedan oleh koalisi tiga partai, Nasdem, Demokrat dan PKSyang sebelumnya direncanakan dilakukan 10 November 2022.

Bicara tentang keterlibatan pemodal besar atau oligarki dalam perhelatan pemilihan umum, terutama dalam Pilpres (pemilihan presiden) sangat menggelitik, dan menarik sebagai bahan permenungan.

Disatu sisi,Etis serta sangat ideal antipati atas kehadiran para pemodal (bohir) dalam pencalonan seorang presiden. Karena bakal menimbulkan konflik interest dikemudian hari. Selaras dengan adagium berbunyi "No Free Lunch", tidak ada makan siang gratis.

Disisi lain, mungkinkah kontestasi pemilihan presiden dengan sistem pemilihan langsung yang identik sangat liberal, mengikuti mekanisme pasar tidak butuh uang dalam jumlah besar ?

Itulah sebuah dilema yang menyelimuti dinamika kehidupan demokrasi Indonesia saat ini. Peran uang dalam pemilihan umum tidak nampak secara kasat mata tetapi dapat dirasakan, bagaikan bunga Rafflesia Arnoldi, bunga langka, indah dipandang, tapi ber- aroma bau busuk. 

Bunga Rafflesia Arnoldi juga sering disebut denga nama "Bunga Bankai". Pemilik modal dalam pemilu di Indonesia sering disebut sebagai "Bohir". Berasal dari bahasa Belanda "bouwheer" berarti "kontraktor", terdiri dari kosa kata "bouwen"berarti membangun dan "heer" berarti tuan. 

Dalam bahasa Indonesia, dalam perhelatan pemilu pemilihan presiden, khususnya pemilihan kepala daerah, istilah Bohir lajim disebut merujuk pada pemberi uang untuk modal bertarung dalam kontestasi pemilihan umum.

Pemberian dana oleh pemilik modal untuk biaya kampanye kepada kandidat yang bertarung dalam pemilihan umum sering dilakukan secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, di Amerika perusahaan-perusahaan besar sering memberikan dukungan (pledge) pada calon tertentu dengan harapan suatu saat akan memperoleh kemudahan dapat proyek jika kandidat menang. 

Selain disebut sebagai bohir, pemilik modal yang membiayai kandidat dalam pemilu sering juga disebut sebagai Cukong, berasal dari bahasa Hokkien. Arti harfiahnya pemimpin, ketua atau bos besar. 

Sebutan Cukong dikenakan kepada pengusaha-pengusaha pemilik perusahaan besar. Kata Cukong identik dengan orang yang turut serta berkomplot melakukan kejahatan kecurangan sehingga miliki konotasi negatif,  karena dikaitkan dengan sekelompok orang berduit melakukan praktek bisnis kotor dan koalisi berarti kerjasama rahasia atau persekongkolan. 

Persekongkolan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang turut serta berkomplot melakukan kejahatan atau kecurangan. Atau  berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan, bersekutu dengan maksud jahat.

Fahri Hamzah Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelora menyebut, sulit untuk menafikan keikutsertaan kandidat dalam perhelatan pilpres tanpa dukungan modal. Fahri Hamzah malah meyakini bohir atau pemodal memegang peranan penting menyatukan koalisi mengamankan kandidat dalam berkontestasi pada Pilpres 2024. (inilah.com, Selasa (15/11/2022). Fahri Hamzah bahkan meyakini para bohir atau pemodal bakal terus begerak hingga menit akhir pendaftaran kandidat capres-cawapres pada September 2023 mendatang.

Willy Aditya Ketua DPP Partai NasDem mengakui bahwa perjuangan dalam politik memerlukan modal, termasuk dalam menghadapi kontestasi Pilpres 2024 mendatang, kemudian menegaskan bahwa partainya menolak untuk tunduk terhadap pendiktean para bohir atau pemilik modal, kata Willy Aditya dalam acara Kasih Paham oleh Asumsi, Rabu (23/11/2022). 

Pernyataan Willy terlontar menanggapi ucapan Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Fahri Hamzah yang menyinggung soal peran bohir dalam politik Tanah Air. Menurut Fahri para bohir inilah yang mendikte partai politik untuk mencari capres yang sejalan dengan kepentingan bisnis.

"Orang-orang ini yang punya kepentingan dengan bisnis juga memantau. Nah inilah yang membuat politik kita dikelola dari belakang, tidak fair, tidak fair kepada rakyat. Efek pendidikan kepada rakyatnya tidak dimunculkan," kata Fahri dalam forum yang sama.

Hubungan simbiosis mutualisme antara pengusaha dengan penguasa telah lama terjalin di Indonesia, dan semakin marak di zaman orde baru yang ditandai oleh munculnya para konglomerat yang berlindung dibawah ketiak rezim penguasa orde baru lewat praktek KKN (korupsi, koalisi dan nepotisme).

Di era reformasi para pengusaha ini masih tetap akan berupaya mencengkeramkan kukunya ke lingkaran kekuasaan untuk mengamankan kepentingan bisnis atau untuk menjaga kesinambungan bisnisnya. Pemilik modalbesar  ini menyetor uang kepada kandidat peserta kontestasi pemilu, dengan harapan bisnisnya ada yang menggaransi dan terlindungi. 

Hitungannya, jika kandidat tersebut menang, sumber daya ekonomi negara diberikan kepada si cukong, baik dalam wujud proyek maupun kebijakan khusus. Semakin erat hubungan keduanya, baik karena "upah balas budi" maupun karena melanggengkan kepentingan bersama maka pengusaha sering memperoleh keuntungan atau  "privilege" lewat kebijakan pemerintah yang berorientasi kepada kepentingan pengusaha.

Simbiose mutualisme itulah yang melanggengkan hubungan antara kekuasaan dengan dunia usaha. Sejak zaman orde baru konglomerat Indonesiadiwarnai oleh  munculnya pengusaha anak-anak pejabat birokrasi, koneksi pejabat, atau pengusaha anak main pejabat sehingga muncul istilah business client (pengusaha klien).

Pengusaha yang mengandalkan proteksi jaringan kekuasaan pemerintah dan memiliki patron terhadap kekuasaan birokrasi atau elit politik umumnya memperoleh tender proyek pemerintah, mendapat fasilitas khusus karena kebijakan pemerintah berbentuk peluang  monopoli, konsesi maupun dapat kuasa tata niaga produk tertentu. Sehingga nasib bisnis mereka sangat tergantung kepada siapa penguasa, dan sangat mengharapkan peluang bisnis ber-profit besar karena dukungan kebijakan pemerintah. Nasib bisnis pengusaha seperti ini memiliki ketergantungan sangat erat dengan patron di elite kekuasaan.

Jika rezim penguasa berganti maka kesinambungan bisnisnya juga terancam, oleh karena itu agar tetap memiliki konsesi bisnis harus berupaya jadi bagian dalam lingkaran kekuasaan elit politik. Salah satu caranya adalah lewat peran sebagai pemodal baik sebagai bohir maupun cukong di setiap perhelatan pemilihan umum, baik pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah.

Efek negatif hubungan simbiosis mutualis antara penguasa dan pengusaha ini adalah  pengusaha dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah, dan mengatur aparat penegak hukum dengan uang. Sehingga lahir bisnis monopolistis yang hanya dinikmati segelintir orang (REDISTRIBUTIVE COMBINES). 

Berdasarkan literatur ilmu ekonomi politik, redistributive combines adalah regulasi atau peraturan pemerintah di desain sebagai instrumen merebut dan membagi kue ekonomi di lingkaran elit kekuasaan. Lewat regulasi yangberpihak kepada segelintir pengusaha jadi jaminan perangkat hukum kelancaran aktivitas bisnis pengusaha tertentu. Keuntungan diperoleh oleh kedua belah pihak karena adanya patron-klien.

Persekongkolan pengusaha-pejabat diprediksi akan tetap berlangsung di era reformasi ini sebagai anak kandung yang lahir dari rahim pemilihan umum liberal dan mengandalkan uang sebagai amunisi sebagaiman fenomena yang terlihat secara kasat mata dalam narasi dan perdebatan pencalonan presiden jelang pilpres 2024, sarat dengan sepak terjang kroni kapitalisme pemburu rente (rent seeker).

Surya Paloh Ketua Umum Partai Nasdem, saat diwawancarai media di JCC, Jakarta, Sabtu (12/11/2022, mengatakan belum ada pemodal besar dan kecil yang ingin berinvestasi kepada koalisi yang mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden (Capres). Tanpa pemodal ditambah koalisi yang belum menemukan titik temu, tidak bisa Paloh menjamin Anies bisa maju di Pilpres 2024.

"Ini kan apes ini, pemodal besar enggak ada, pemodal kecil enggak ada," Tandas Surya Paloh.

Surya Paloh kemudian mengatakan, akan sangat hormat bila ada pemodal yang mau membantu NasDem dan Anies untuk berlaga di 2024. "Kita pun juga ingin, coba sebutkan kita ingin, katakan kita ingin. Kalau ada pemodal besar terutama yang mau dekat dan bersimpati kepada NasDem, saya katakan hormat, siap saja."

Berbeda dengan Surya Paloh, politikus PKS Nasir Djamil di Gedung DPR RI, Senin (14/11/2022), mengatakan bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) uang bukan menjadi kekhawatiran untuk menghadapi Pemilu. PKS yang saat ini tengah menyusun koalisi bersama NasDem untuk mengusung Anies meyakini dukungan masyarakat adalah segalanya.

"Uang bukan segala-galanya. Meskipun memang dia bisa menentukan segala-galanya. Tapi sekali lagi dukungan rakyat lah yang paling diutamakan dukungan rakyat paling besar."

Demikianlah suasana kerumitan pendeklarasian Calon Presiden yang dikaitkan dengan pentingya arti uang sebagai motor penggerak pemilu. Uang memang tidak segalanya, tidak ada uang bukan berarti mati, tetapi tanpa ada uang hidup terasa mati. Politik yang cenderung mengandalkan uang tidak bisa dihindari akan mengundang kehadiran pemilik uang yang sering disebut sebagai "Bokir" atau "Cukong".

Sudah barang tentu pemilik uang atau pemodal juga tidak siap menghamburkan uangnya begitu saja tanpa memperhitungkan kemungkinan ada kesempatan pengembalian (return) uang yang di donasikan. Pengusaha mengeluarkan uang disebut dengan istilah investasi.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), investasi adalah penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Orang yang melakukan investasi adalah disebut investor atau penanam modal.

Investasi di ranah politik dan pemilihan umum adalah investasi beresiko tinggi (Hight Risk), hanya investor yang memiliki jiwa "gambling", berjudi yang mau melakukannya. Namun dalam bisnis adakalanya berlaku adagium bahwa bisnis yang beresiko tinggi justru memberi peluang keutungan sangat besar. Dan hanya orang yang memiliki kemampuan ber-spekulasi bisa melakukannya.

Orang bisnis yang mengandalkan spekulasi identik dengan pengusaha yang lahir dan tumbuh bukan dari nol, tetapi berkembang juga karena faktor keberuntungan. Keberuntungan itu pun diperoleh dari pilihan berlindung dibawah ketiak penguasa dan elit politik melalui cara mempengaruhi elit penguasa agar mendesain kebijakan yang menguntungkan dirinya. Artinya keberuntungan yang diperoleh dari hasil akal-akalan jahat, bukan "pure lucky". 

Pengusaha dan politisi yang mengandalkan kekuasan dan kebijakan politik sedang menghantui kita lewat Pilpres 2024. Baik atau buruk praktek itu, ada baiknya kita memalingkan pemikiran kita ke pengalaman buruk yang diakibatkan perselingkuhan pengusaha dan penguasa di masa lalu, beberapa kasus viral diantaranya misalnya kasus bank Century dan Bank Bali. Itu baru sedikit diantara sekian banyak kasus yang sama. Atau cerita menarik yang baru saja berlalu, yaitu hebohnya pembubaran Petral ( Pertamina Energy Trading Limited) yang kemudian muncul China Sonangol mengintai gurihnya bisnis Migas. 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun