Melihat kemajuan pesat Deli Maatschappij membuat perusahaan-perusahaan lain tergiur dan kemudian datang ke Tanah Deli Sumatera Timur berinvestasi di bidang perkebunan, selain dari Belanda ada juga dari Inggris, Belgia, Prancis dan Jerman sehingga pada tahun 1872 sudah ada sebanyak 75 orang pengusaha perkebunan di Sumatera Timur, dan kemudian tahun 1884 Â meningkat menjadi sebanyak 688 orang pengusaha, dan jumlah perusahaan perkebunan yang pada tahun 1873 berjumlah 13 menjadi sebanyak 40 perusahaan di tahun 1876.
Perusahaan perkebunan dan geliat perekonomian di Sumatera Timur mengalami kemajuan serta  kejayaan sepanjang tahun 1865 - 1891, dan terkenal dengan sebutan "Deli Booming Industri Perkebunan". Perpindahan jumlah penduduk juga meningkat ke Sumatera Timur. Demikian juga kebutuhan buruh atau tenaga kerja semakin meningkat, yang disebut juga dengan Kuli.
Istilah ini diduga bersala dari bahasa Inggris "Coooli" yang mengadopsi kata Kuli dari bahasa Tamil yang berarti upahan untuk pekerja kasar.
Pada awalnya perusahaan-perusahaan perkebunan ini mendatangkan buruh dari langsung dari China, maupun lewat Pulau Penang atau dari India karena penduduk pribumi setempat Tanah Deli tidak berminat jadi buruh perkebunan  karena mereka lebih tertarik jadi petani di lahannya sendiri. Namun tidak lama kemudian Pemerintah Inggris mempersulit pengiriman buruh dari India dan Pulau Penang, demikian juga penguasa China memperketat pengiriman penduduknya sebagai buruh ke Tanah Deli.
Kesulitan memperoleh pasokan buruh dari luar ini menjadikan pengusaha-pengusaha oerkebunan di Sumatera Timur mencari buruh ke Pulau Jawa melalui agen-agen pemasuk tenaga kerja di pulau Jawa. Menurut catatan sejarah kedatangan awal buruh dari pulau Jawa ke perkebunan-perkebunan Sumatera Timur terjadi tahun 1875 khususnya dari daerah Bagelan Jawa Tengah sebanyak 300 orang.
Untuk mengamankan ketersediaan buruh atau kuli di perkebunan-perkebunan Sumatera Timur penguasa Belanda kemudian mengeluarkan peraturan tentang kontrak buruh yang terkenal dengan nama "KOELI ORDONANTIE". Itulah awal sejarah perlakuan  buruk terhadap buruh perkebunan di Sumatera Timur yang terikat dengan kontrak, dan dalam peraturan itu ditegaskan bahwa setiap kuli harus taat menyelesaikan kontrak kerjanya, tidak bisa meninggalkan kontrak, apabila melarikan diri maka akan ditangkap oleh polisi, dan jika melawan akan diberikan hukuman berat.
Dengan naungan peraturan penguasa Belanda tersebut maka semakin besarnya arus manusia sebagai kuli kontrak di perkebunan-perkebunan yanng ada di Sumatera Timur, khususnya yang didatangkan dari Pulau Jawa dengan perantaraan agen pemasok tenaga kerja di Jawa yang menjanjikan bahwa di Sumatera Timur akan tercapai kehidupan lebih baik, sejahtera, banyak emas dan bebas berjudi.
ternyata buruh tersiksa, tertipu karena tidak sesuai dengan harapan sehingga terjadi perbudakan massif di perkebunan-perkebunan Sumatera Timur, bahkan ada perangkap memiskinkan terus menerus para buruh agar tetap terikat dan tergantung kepada perusahaan-perusahaan perkebunan dengan cara menjerumuskan buruh perkebunan ke dalam permainan judi, perempuan penghibur, hiburan malam untuk menyedot uang pribadi buruh, sehingga kemudian terjerat utang dan kemudian terpaksa teken kontrak kerja kembali.Â
Secara terselubung terjadi eksploitasi terhadap kuli atau buruh perkebunan terhadap buruh perkebunan yang didatangkan dari Pulau Jawa sehingga mereka terikat untuk tetap jadi buruh di perkebunan-perkebunan tempat mereka bekerja, tidak bisa kembali lagi ke Pulau Jawa, sehingga selamanya bermukim di Sumatera Utara.
Menyelusuri sejarah kelam nasib kuli kontrak di perkebunan-perkebunan besar milik orang Eropah selama masa sebelum Kemerdekaan Indonesia merupakan sebuah sejarah kelam yang menimpa buruh kebun yang didatangkan dari Jawa ke Sumatera Timur, dan secara sejarah sudah tercatat bahwa mereka memiliki peran sejarah penting dalam perkembangan sosial ekonomi di Sumatera Timur, khususnya memajukan perkebunan di Sumatera Timur khususnya.Â
Mereka sudah bermukim lama di Sumatera Utara baik dalam suka dan suka, dan turut menorehkan catatan sejarah perkembangan Sumatera Utara maka layak dan pantas juga mereka sangat mencintai Sumatera Utara dan mengibarkan bendera bernama Pujakesuma, Putra Jawa Keturunan Sumatera. Karena mereka juga lahir dan besar di Sumatera Utara sejak Indonesia belum merdeka.