Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Korupsi : Politik Biaya Tinggi Vs Character Building

13 September 2012   08:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:32 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Bangsa Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno atmosfir politik nasional bernuansa melawan para imperialisme dan kapitalisme menjadi musuh utama, semua wacana dan jargon politik berkaitan dengan anti imperialisme dan membangun nilai-nilai nasionalisme. Beralihnya tampuk kekuasaan ke tangan Soeharto sebagai pemimpin Orde Baru musuh utama beralih menjadi komunisme sebagai musuh laten dan menjadikan komunisme sebagai hantu menakutkan yang setiap saat bisa saja ditimpakan- bukan menimpa- kepada seseorang.

Paska runtuhnya orde baru dan munculnya era reformasi maka yang menjadi musuh utama adalah "korupsi" atau "koruptor". Musuh baru di era reformasi ini memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan musuh yang dijadikan sebagai lawan pada orde lama atau orde baru, menjadikan imperialisme, kapitalisme dan komunisme menjadi musuh pada dasarnya dapat dilakukan dengan membuat defenisi dan batasan yang jelas tentang musuh yang hendak di lawan tersebut, artinya gampang dibedakan mana lawan serta yang mana kawan, serta gampang mengklasifikasikan karakteristik musuh tersebut.

Korupsi atau Koruptor sebagai objek  yang mesti dienyahkan dan menjadi musuh utama di era reformasi saat ini memiliki wujud yang tidak gampang dilihat secara kasat mata namun dapat dengan mudah dirasakan, dan ironisnya pelaku atau oknum yang melakukan korupsi yang mesti dijadikan sebagai objek yang mesti disingkirkan tersebut justru berada ditengah-tengah lingkaran kekuasaan yang diharapkan menjadi motor penggerak pemberangusan korupsi tersebut. Inilah salah satu kendala yang melintang menahan laju gerakan pengentasan praktek korupsi tersebut.

Dalam arti yang lebih sederhana, ada pertanyaan menarik yang layak dikemukakan, yaitu pertanyaan yang berbunyi "Mungkinkah kita berharap kepada para pelaku korupsi untuk melakukan pembersihan terhadap praktek korupsi tersebut ?"

Pertanyaan ini semakin menarik dikemukakan, karena sampai hari ini wacana atau atmosfir politik kehidupan berbangsa dan bernegara masih tetap saja sarat dengan issu kasus korupsi yang menimpa para elit politik itu sendiri baik itu lembaga eksekutif, legeslatif dan yudikatif.  Ketiga lembaga ini sampai hari ini belum bisa dikatakan ada diantaranya yang benar-benar tidak terkait dengan kasus korupsi, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa beberapa diantara lembaga ini justru menjadi sumber utama melahirkan korupsi itu sendiri, dan justru disanalah disusun skenario pelaksanaan korupsi tersebut.

Karena lembaga tersebut justru menjadi sumber utama melahirkan korupsi tersebut maka amat sulit mengharapkan lembaga tersebut sebagai institusi yang memiliki keseriusan mengentaskan ataupun memberangus korupsi. Ibarat sebuah bunyi kalimat iklan yang berkata "JERUK KOK MAKAN JERUK !!!"

Berangkat dari asumsi ini maka era reformasi berpikir untuk membidani lahirnya lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), pada awalnya lembaga ini diharapkan sebagai sebuah institusi yang indefenden dan memiliki kekuasaan yang luas dalam memberantas korupsi sehingga diposisikan tidak mendapat peluang dari campur tangan lembaga lainnya baik itu eksekutif, legeslatif maupun judikatif.

Namun akhir-akhir ini muncul keraguan ditengah-tengah publik bahwa lembaga KPK juga tidak luput dari kepentingan lembaga lain terutama dari para elit penguasa. Keraguan ini kembali menjadi pertanyaan menarik bertepatan dengan kehadiran Antasari Azhar dalam dengar pendapat dengan TIMWAS BANK CENTURY DPR RI kemarin 12 September 2012. Kehadiran Antasari dalam pertemuan tersebut diagendakan untuk mendengarkan kesaksian langsung Antasari tentang wacana bailout Bank Century yang sebelumnya diributkan di media massa bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membicarakannya di Istana Negara.

Sebagaimana yang telah diduga sebelumnya, dalam dengar pendapat di gedung DPR RI ternyata Antasari kembali menegaskan bahwa Presiden SBY tidak ada menyampaikan wacana tersebut.  Hal ini sebenarnya sangat gampang diprediksi sebelumnya, dan hasilnya juga sebagaimana yang diduga sebelumnya.

Sebenarnya banyak pihak yang memprediksi bahwa yang akan menarik dalam pertemuan tersebut adalah "Kasus Tuduhan Pembunuhan Yang Dituduhkan Kepada Antasari".  Tapi sampai akhir pertemuan pembicaraan terhadap kasus ini sepertinya tidak menjadi pusat perhatian para pendekar politik di DPR RI walau Antasari sendiri telah berupaya mengutarakan keluh kesahnya tentang perlunya perhatian DPR RI terhadap kebenaran siapa sebenarnya pelaku utama pembunuhan terhadap Nasruddin Zulkarnaen.

Pertemuan Antasari dengan Timwas Bank Century DPR RI akhirnya berjalan hambar tanpa ada nilai atau pesan penting yang mesti ditindaklanjuti dan dalam hal ini DPR RI juga bagaikan melakukan lakon sandiwara yang hanya meninabobokan publik dan terkesan banyak para politisi yang hanya mencari upaya membangun pencitraan terhadap diri sendirinya dan kelompoknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun