Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Jadi Gubernur Sumut

16 Juli 2012   05:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:55 3629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hasil real quick count yang di release beberapa lembaga survey tentang hasil pemilihan calon Gubernur DKI Jakarta yang menggambarkan Jokowi dan Ahok menjadi pasangan terunggul bagaikan hujan yang tiba-tiba turun ke muka bumi ditengah-tengah cuaca siang yang tengah terik dan panas. Dan Jokowi juga dianggap sebagai seorang makluk aneh yang seakan berasal dari planet lain.

Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu, partai-nya penguasa dan yang mengusung pasangan Foke terseret ketengah arus suasana kehilangan kecongkakan sebagaimana sebelumnya yang sangat penuh percaya diri memprediksi pemilihan Gubernur DKI Jakarta akan berlangsung hanya satu putaran dengan kemenangan di pihak Poke yang nota bene berarti keunggulan partai demokrat di Pilkada DKI Jakarta.

Kemenangan Jokowi yang ditunjukkan oleh berbagai lembaga survey tersebut akhirnya membuat partai demokrat turut larut dalam rasa kaget dan kehilangan rasa empathy, hal ini terlihat dari sikap beberapa petinggi partai demokrat yang tiba-tiba memberikan tanggapan yang terkesan menunjukkan sikap bathin yang sedang galau.

Anas Urbaningrum yang selama ini dipandang sebagai seorang politisi muda potensial dinilai sebagai seorang politisi santun dan dianggap mampu melakukan komunikasi yang familier, tiba-tiba memproduksi kalimat yang kontraversial dengan menyebut "Jokowi cocoknya sebagai Sejken PBB". Ucapan Anas Urbaningrum ini dianggap keluar dari kebiasaannya yang selama ini  dianggap memiliki kemampuan komunikasi politik yang mumpuni, dan merupakan sebuah pernyataan yang diduga memberi gambaran suasana bathin Anas Urbaningrum yang sesungguhnya, yaitu sedang kehilangan rasionalitasnya sebagai seorang pemimpin tertinggi sebuah partai politik terbesar di Negeri ini.

Kemenangan Jokowi dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta memang mampu meretas kemapanan rasionalitas berbagai pihak termasuk menggugat kecanggihan metode survey yang dipergunakan beberapa Lembaga Survey Politik dan Lembaga Konsultan politik yang selama ini dianggap sebagai sebuah dukun politik modern yang dianggap mampu memprediksi calon pemenang dalam setiap pemilihan umum, baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden dan pemilihan calon kepala daerah.

Sebelum terlaksananya pemilihan Gubernur DKI Jakarta umumnya lembaga survey mempublikasikan hasil risetnya dengan menempatkan Foke sebagai pemenang atau yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta, dengan hasil real quick count yang telah ditunjukkan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta tersebut akhirnya menjadikan Lembaga Survey Politik kehilangan marwahnya, dan digugat keberadaannya dengan tuduhan bahwa lembaga survey selama ini cenderung penuh dengan bias kepentingan pihak dan kelompok tertentu. Dengan kata lain Lembaga survey mempublikasikan hasil risetnya berdasarkan order pesanan.

Dua fenomena menarik diatas merupakan sebagian kecil dari reaksi yang timbul dan mengemuka sebagai akibat dari kemenangan Jokowi dan Ahok memperoleh suara secara signifikan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Selain mampu menjungkirbalikkan beberapa arus pemikiran yang sempat mapan selama ini, kemenangan Jokowi dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta dalam putaran pertama ini semestinya bukan dipandang hanya sebagai realita baru yang mengagetkan, tetapi selayaknya dijadikan sebagai sebuah momentum untuk melakukan permenungan dan intropeksi diri bagi para elit politik bangsa ini.

Kemampuan Jokowi memperoleh suara yang unggul dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta secara inplisit memuat banyak pesan khusus yang sangat layak dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk melakukan pergeseran atau perubahan terhadap sikap dan tindakan bagi para elit politik dan khususnya bagi kepala daerah yang sedang berkuasa, maupun bagi pihak yang memiliki keinginan untuk maju menjadi calon Gubernur maupun Bupati dan Walikota.

Salah satu pesan menarik yang dapat diperoleh dari proses pemilihan Gubernur DKI yang baru saja berlangsung tersebut adalah secara kasat mata dapat dilihat bahwa telah terjadi perbedaan yang sangat mendasar diantara alam pemikiran para elit politik dibandingkan dengan realita pemikiran masyarakat atau konstituen Jakarta. Dalam kasus ini masyarakat Jakarta dalam melakukan pilihan memberikan gambaran  bahwa sesungguhnya ada sesuatu yang dirindukan oleh masyarakat, kerinduan tersebut khususnya keinginan terjadinya sebuah perubahan terhadap kepemimpinan dan kerinduan terdalam terhadap munculnya sosok pemimpin yang dianggap kredibel, mampu memahami perasaan rakyat, dan merindukan pemimpin yang tampil apa adanya serta jauh dari sikap yang larut dalam keasikan pencitraan diri, manis dibibir dan pragmatis.

Kerinduan seperti ini sebenarnya merupakan bentuk pemberontakan dalam diam yang dilakukan oleh masyarakat terhadap tingkah para politisi dewasa ini yang cenderung dianggap hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, dan sering mengabaikan perasaan rakyat karenan menganggap suara rakyat setiap saat akan dapat diperoleh dengan menggelontorkan uang alias politik uang.

Perolehan suara Jokowi yang signifikan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta menjadi salah satu indikator bahwa ternyata tidak selamanya uang sebagai salah satu faktor penentu kemenangan seseorang dalam pemilihan umum, dan adagium umum yang berlaku serta mapan selama ini menganggap bahwa calon incumbent memiliki peluang terbesar untuk memenangkan pemilihan turut terpatahkan dalam fenomena kemenangan Jokowi dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta saat ini.

Masyarakat Jakarta kali ini telah menunjukkan sikapnya yang sesungguhnya bahwa dalam menetapkan pilihan terhadap calon pemimpin didasarkan kepada reputasi atau karakter personal seseorang, terutama memilih seseorang berdasarkan riwayat keberhasilan personalitasnya dalam memimpin. Dari semua calon Gubernur DKI Jakarta yang ikut bertarung Jokowi merupakan salah satu calon Gubernur yang memiliki penampilan dan raut wajah yang memiliki nilai paling rendah dibandingkan dengan calon lainnya, namun ketidakgantengan Jokowi ternyata tidak menjadi salah satu faktor penentu utama untuk menang sebagaimana yang terjadi ketika proses pemilihan Calon Presiden Indonesia yang dimenangkan oleh SBY yang diduga kemenangannya salah satu karena faktor penampilan dan kegantengannya.

Ucapan Anas Urbaningrum pada hari Sabtu 14 Juli 2012 lalu yang mengatakan bahwa Jokowi dianggap lebih cocok sebagai Sekjen PBB sebenarnya masih perlu dipertanyakan apakah perkataan tersebut diucapkan oleh Anas Urbaningrum ada kaitannya dengan penampilan phisik atau performance wajah Jokowi yang dianggap "Ndeso" . Namun ucapan Anas Urbaningrum tersebut sudah kadung menyebar luas ditengah-tengah masyarakat dan dianggap sebagai sebuah penilaian terhadap tampang Jokowi, dan masyarakat sendiri menganggap bahwa tampang dan penampilan bukan merupakan ukuran atau barometer yang dipergunakan untuk memilih seseorang menjadi salah seorang pemimpin.

Masalah kegantengan atau raut wajah dalam pemilihan Gubernur, kemenangan Syamsul Arifin sebagai Gubernur Sumatera Utara beberapa tahun yang lalu mengingatkan kembali penanmpilan Jokowi ketika maju menjadi calon Gubernur DKI Jakarta, dan kemampuan keduanya untuk memperoleh suara secara signifikan menunjukkan bahwa tidak selamanya penampilan phisik seseorang menjadi faktor penentu kemenangan menjadi seorang pemimpin.

Sebagai salah seorang penduduk Sumatera Utara, apabila dalam pemilihan putaran kedua nanti memang Jokowi tidak berhasil jadi Gubernur DKI Jakarta karena faktor phisiknya yang "Ndeso", secara pribadi saya berharap agar berkenan maju menjadi calon Gubernur Sumatera Utara yang memang sebentar lagi akan mengadakan pemilihan Gubernurnya, dan saya yakinkan kepada Jokowi bahwa masyarakat Sumatera Utara dalam memilih calon pemimpinnya tidak berdasarkan penampilan phisik seseorang, contohnya Syamsul Arifin meruapakan salah satu calon Gubernur yang memiliki tampang paling jelek diantara semua calon yang maju tetapi ternyata mampu berhasil menang menjadi Gubernur Sumatera Utara.

Kami menantikan kehadiran Jokowi dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara jika ruang dan waktu memberi kesempatan baginya............ !!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun