Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Simbiosis Mutualisma Money Politics Pemilu 2014

23 April 2014   01:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:19 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk ikut bertarung dalam pemilihan anggota legislatif  DPR RI diperkirakan seorang calon membutuhkan dana minimal satu miliar, bahkan ada calon yang sampai menggelontorkan dana sampai puluhan miliar.  Demikian juga untuk pemilihan kepala daerah, dapat dipastikan para kandidat Bupati saja tidak cukup hanya menyediakan dana satu  miliar, apalagi untuk pemilihan gubernur dan presiden.

Tingginya biaya yang dibutuhkan dalam proses pertarungan dalam pemilihan umum ini menjadi sebuah tantangan besar yang mesti dihadapi dalam kehidupan demokrasi Bangsa Indonesia saat ini. Bahkan dikuatirkan menjadi sebuah dilema untuk kebaikan kehidupan berdemokrasi karena mengurangi nilai-nilai universilatas arti demokrasi itu sendiri. Dalam kondisi praktek pemilu yang membutuhkan dana besar justru menutup pintu bagi para politisi maupun calon pemimpin, dan hanya akan memberi kesempatan berkiprah di dunia politik bagi kalangan yang memiliki uang, atau kalangan tertentu saja.

Pemilu yang  High Cost selain menyingkirkan nilai-nilai idealisme maupun idiologi, justru dikuatirkan akan menciftakan lingkaran setan korupsi, bahkan diprediksi menjadi sumber utama langgengnya tindakan korupsi yang dilakukan para elit politik, dengan asumsi para kandidat yang telah mengeluarkan banyak uang dalam pertarungan pemilu akan berusaha mengembalikan uang yang telah dikeluarkannya. Jika ini benar-benar terjadi maka upaya pemberantasan korupsi dan menjadikan pemerintahan yang bersih akan semakin jauh dari kenyataan, bagaikan panggang jauh dari api.

Apabila ditanyakan dimana sumber masalahnya, dan siapa sebenarnya biang keladi munculnya praktek money politics ini  maka jawaban yang kita terima justru pertanyaan balik bagaikan quis yang  berbunyi "mana duluan ada ayam atau telur ?".  Thesis ini sepertinya bagai mainan, tetapi itulah wacana yang kita dengar apabila kita ikuti dialog diantara sesama masyarakat dalam menanggapi praktek money politics ini.

Ketika kita berbicara kepada masyarakat bahwa money politics tidak baik untuk kemajuan demokrasi, dan hanya akan memilih orang-orang opurtunis, atau hanya akan memilih kandidat yang selanjutnya akan melakukan korupsi, maka masyarakat tidak jarang berujar "Siapapun yang terpilih menjadi anggota legislatif maupun pemimpin tidak ada jaminannya mereka akan melakukan yang terbaik bagi masyarakat". Artinya masyarakat sendiri sudah apatis dan tidak percaya lagi terhadap wakil mereka, dan masyarakat sudah merasa muak terhadap janji-janji manis tokoh politik selama ini, masyarakat tidak perduli lagi dengan visi dan misi partai politik maupun kandidat.

Memang dalam hal ini nampak sekali bahwa masyarakat tengah pragmatis dan mau yang serba instan, dan mereka juga membenarkan tindakan mereka itu sebagai sebuah pilihan untuk mengekspresikan rasa kecewa mereka terhadap praktek demokrasi selama ini, terutama pemberontakan mereka tehadap tingkah para elit politik yang selama ini banyak terlibat kasus korupsi. Masyarakat sudah kadung percaya bahwa para politisi itu hanya mengumbar janji manis saat kampanye, jika sudah terpilih para politisi dianggap akan melupakan janjinya serta mengutamakan kepentingan pribadinya, misalnya memperkaya dirinya sendiri, selanjutnya melupakan tugas dan tanggungjawabnya mengemban amanah rakyat, serta tidak akan memiliki kemauan memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Demikian juga sebaliknya, ketika kepada para kandidat, baik itu calon legislatif maupun eksekutif ditanyakan atas sikap mereka yang melakukan money politics sebagai proses pembelajaran politik yang buruk, maka para politisi itu akan memberikan jawaban yang membenarkan sikap dan tindakan mereka dari sudut pandang mereka sendiri, sudah tentu jawaban mereka itu dianggap benar menurut kacamata mereka sendiri.

Sudah barang tentu jawaban para politisi itu lebih diplomatis, lebih ilmiah, dan lebih profesional serta terkesan smart. Para politisi lebih suka memilih cara money politics, atau mempengaruhi masyarakat untuk memilihnya melalui pemberian uang, menurut kalkulasi mereka justru lebih rendah biaya yang dikeluarkan jika dibandingkan dengan melakukan semua mekanisme kampanye yang lajim terjadi, selain efesien sudah tentu lebih efektif karena uang yang dikeluarkan tepat kena sasaran.  Nah, perbuatan mereka dianggap sangat profesional karena selaras dengan salah satu fungsi dan arti ilmu management, yaitu efesien dan efektif.

Jika ditinjau dari perspektif  marketing politics, pada intinya ilmu marketing politik itu adalah sebagai salah upaya mempengaruhi sikap dan pilihan calon konstituen untuk berkenan memilih seorang calon melalui cara memahami apa keinginan masyarakat dan kemudian memenuhi kebutuhannya.  Para politisi dalam hal ini sudah paham betul bahwa masyarakat dewasa ini sebagai calon konstituen sudah apatis terhadap para politisi dan masyarakat cenderung lebih tertarik terhadap apa yang mereka dapatkan segera dari seorang kandidat, dan masyarakat sekarang kurang peduli lagi terhadap visi dan misi apalagi orasi yang panjang lebar tidak membumi.

Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran dalam ilmu ekonomi kedua kenyataan diatas bertemu dalam satu titik ekuiliberium, yaitu persilangan antara apa yang diinginkan oleh masyarakat dan apa yang ditawarkan oleh para politisi, yaitu sama-sama sepakat money politics atau pemberian uang untuk memilih dan dipilih.

Walaupun demikian, bukan berarti apa yang telah diutarakan diatas merupakan sebuah kebenaran mutlak yang tidak dapat diganggu gugat lagi, dan bukan merupakan sebuah kebenaran paripurna yang bisa dijadikan sebagai teori pembenaran bahwa dalam pertarungan pemilu satu-satunya cara paling efektif untuk menang hanya melalui pemberian uang atau dalam bentuk asessoris lainnya.  Keefektifan cara ini sudah tentu kebenarannya sesuai dengan cara seseorang memandangnya dan dari sudut mana dia memandangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun